Monday, February 11, 2013

FATAMORGANA (?)



BAB 1

Perjalanan ini
            Maureen membuka mata ketika goyangan kereta terasa sangat kuat. Jari-jari tangannya menghapus kotoran di kedua matanya. Ia melirik ke sebelah kanan. Alaia masih tertidur nyenyak sambil merangkul bantal kecil. Maureen menyibakkan kain jendela. Silau. Sinar matahari tepat mengenai wajahnya. Ia hanya sempat melihat pilar-pilar baja memenuhi jendela.
            Maureen teringat telepon selular yang ia matikan sebelum tidur. Ia mengambil telepon itu dari saku celana dan menghidupkannya. Ia menunggu beberapa saat menunggu masuknya pesan-pesan yang mungkin datang ketika telepon sedang mati. Benar saja. Ada satu pesan. Tiga angka terakhir …888. Nomor pengirim pesan tidak ada dalam daftar teleponnya, tapi Maureen hapal betul pemilik nomor ini.
            Maureen mengalihkan pandangan ke luar jendela. Telapak tangannya bermain-main di dagu, menunjukkan ia ragu. Sesaat kemudian, Maureen memasukkan telepon ke dalam saku celana tanpa membaca pesan yang masuk. Kini telapak tangannya menepuk-nepuk saku celana yang berisi telepon.
            Lengan Maureen terasa tersentuh. Ia menoleh.
            “Eh, udah sampai mana?” tanya Alaia sambil menguap.
            “Jembatan,” jawab Maureen asal. Ia menunjuk pilar-pilar baja yang tampak lari menjauh.
            Alaia melongok ke luar jendela. “Iya tau. Semua juga ada jembatan. Tuh di Jakarta jembatan berjubel. Dari jembatan yang bernomor sampai jembatan yang bernama. Semua ada. Lah, ini jembatan apaan?”
            Maureen menatap Alaia sambil menahan senyum. “Aku selalu kagum ama kemampuan kerja otakmu,” kata Maureen. “Setiap baru bangun tidur, kamu sudah bisa mengeluarkan kalimat lancar dari otak.” 
            “Dari mulut,” ralat Alaia. Tangan kanannya membetulkan letak rambut ikal yang tergerai hingga bahu.
            “Tapi diproses dulu di otak sebelum lewat mulut.” Maureen mengetuk-ngetuk kening. Ia  tidak mau menyerah begitu saja.
            “Jadi nama jembatannya apa?” ulang Alaia.
            Kali ini Maureen menyengir, memamerkan deretan giginya yang terikat behel plastik warna-warni. “Enggak tahu. Tadi di ujung sebelah sana, enggak ada namanya.” Maureen menunjuk ke arah belakang. “Mungkin di ujung sebelah depan ada namanya.”
            Alaia mengangguk, menatap terus ke luar jendela. Ia memincingkan mata sipitnya ketika matanya bertemu langsung dengan sinar matahari.
            “Eh, nama jembatan segitu pentingnya kah?” tanya Maureen sambil mengikat rambut lurus sepanjang bahu. Ia mengambil kertas tisu dari dalam ransel dan mengeluarkan telepon dari dalam saku celana. Maureen berdiri dan ia meletakkan telepon di atas kursi. “Titip, ya.”
            Alaia memegang pergelangan tangan Maureen. “Kalau ada petugas restoran, mau dipesankan makan?”
(gunting)          

4 comments:

  1. Kereeeen....
    Seperti biasa, penulis diam-diam menghanyutkan hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. wooo, terima kasih. kan ngikutin jejak para pendahulu *tuink-tuink*

      Delete
  2. Replies
    1. Mari-mari, silakan ngetem. Kopi, tes dan kuaci ada di pojokan yak :)

      Delete