Monday, December 29, 2014

JAKARTA: Menjelang Akhir Tahun

Akhir tahun kali ini ditutup dengan acara kumpul-kumpul bersama teman-teman lama. Ini pastinya menjadi acara kumpul hangat karena selagi kumpul kita menghadapi makanan yang disajikan hangat.

Saat bertemu dengan Yuli, Nelmi dan mba Yud pun, menu hangat tersaji cantik. Ada ifumi, mie kuah, bihun goreng. Tempatnya pun cukup 'hangat' karena tidak berada dalam ruang tertutup, plus paparan AC tinggi. Ditambah gelak tawa ala Nelmi yang bikin orang lain menoleh dengan 'hangat' deh. Huaaaa.


Acara hangat selanjutnya dengan Hilda dan Oky  @PepperLunchID. Bersama mereka, hidangan tidak tampil cantik, tapi menggugah selera makan sampai titik terdalam. Bagaimana tidak? Menu pilihan kami disajikan di atas hotplate dan masih terdengar suara mendesis. Ada cipratan-cipratan halus dari hotplates tetapi kami cukup terlindungi berkat kertas yang mengelilingi hotplates. Obrolan ini hangat, bahasan dari masa lalu, tidak termasuk masa pemerintahan Orde Baru, hingga taktik menghadapi tekanan. Intinya sih satu: Penerimaan diri. Nah bagian ini tidak lagi menjadi hangat karena diperlukan pemikiran dalam yang senyap.

Ada lagi beberapa acara lainnya yang pastinya juga hangat, tapi harus dilewatkan untuk berbagai alasan.

Well, akhirnya kita tutup tahun ini. Semoga banyak perbaikan yang bisa dilakukan di tahun-tahun selanjutnya.

Saturday, December 27, 2014

MANADO: Bukit Kasih

Salah satu tujuan lain yang kami, saya, Srisna dan Umi, tuju bersama Didi ialah Bukit Kasih. Untuk lokasi ini, tampaknya Didi hapal, tidak perlu bertanya. Well done.
Bukit Kasih tidak terlalu jauh dari Manado, sekitar 40 menit perjalanan dengan mobil. menggambarkan kerukunan lima agama yang ditunjukkan dengan menara putih, yang setiap sisinya menggambarkan satu agama.

Ketika kami  datang, hujan sedang turun dengan intensitas sedang. Eh, udah mirip pembawa ramalan cuaca? Beberapa ibu-ibu mengikuti kami untuk menjajakan perhiasan seperti cincin dan kalung. Ada juga anak-anak kecil yang secara terus-menerus menawarkan jasanya untuk mengambilakn foto dengan sudut tertentu. Sungguh-sungguh mengurangi kenyamanan kunjungan. Seandainya petugas memberikan tempat khusus bagi penjaja dagangan dan layanan, mungkin hasilnya akan lebih bagus.

Anak-anak itu juga membujuk kami untuk naik ke puncak bukit kasih dengan ratusan anak tangga. Duileeeee. Melihat kami tersenyum pasrah sambil menggeleng, anak-anak itu melanjutkan bujukan- tidak-maut mereka: "Dengan niat pasti bisa mencapai puncak." Wah, kami bukannya termotivasi, malah ngakak.

Eh, tidak hanya itu, dari tempat yang tinggi terdengar suara memanggil pengunjung (baca: kami) untuk mengisi buku tamu. Panggilan itu terus-menerus terdengar hingga saya masuk mobil untuk pulang. Yang ada, panggilan itu membuat kami senyum kecut. Dan dimanakan buku tamu itu berada? Yup, di tempat yang tinggi. Perlu menaiki sekitar 50 anak tangga lapis keramik dan basah untuk mencapai buku tamu itu.  Apa petugas tidak pernah berpikir untuk memindahkan buku tamu di areal bawah?

Ini kunjungan tersingkat, kurang dari sepuluh menit, untuk areal yang luas.

Friday, December 26, 2014

Perjalanan Sepasang Sepatu

Kisah ini bermula pada akhir tahun 2011. Setelah pertemuan singkat untuk bertukar haha dan hihi dengan Iyes dan mba Yud di Pejaten Village, saya dan mba Yud memutuskan untuk mengitari pertokoan ini barang sekedip dua kedip. Sebenarnya dalam lubuk hati terdalam, kami berdua memerlukan sepatu baru untuk jalan atau olah raga ringan. Masuklah kami berdua ke toko sepatu. MbaYud bergerak ke sebelah kiri dan saya ke sebelah kanan, masing-masing diikuti oleh pelayan toko. Ini nih yang sering bikin beberapa pembeli seperti saya risih: dibuntuti pelayan toko. Mungkin maksudnya agar siaga membantu, tapi ya, begitu rasanya. Risih.

Sambil menunggu pelayan mengambilkan nomor sepatu pesanan, saya duduk di samping mba Yud yang terlebih dulu menunggu pesanan sepatunya. Ketika sepatu kami tiba, tawa gelak pun tersembur. Betapa tidak. Kami memesan sepatu yang sama, dengan nomor sepatu yang berlainan. Sepatu itu hanya tersedia dalam satu warna: biru tua dan sol berwarna putih. Jadilah saya dan mba Yud membeli sepatu yang sama.

Perjalanan jauh sepatu saya ini ke tanah suci ketika menemani orang tua umroh pada awal tahun 2012. Warna biru tua  tampak cerah dan sol bersih mulus. Sol sepatu yang empuk membuat sepatu ini nyaman digunakan. Tidak pula membutuhkan waktu lama untuk memakai dan melepaskannya. Cukup lekukkan jari kaki, dan sepatu terlepas. Bagian atas sepatu terbuat dari kanvas. Bagian depan cukup luas, sehingga jari-jari kaki bisa latihan silat, balet atau menjentik.

Sepatu yang sama juga mengantar saya ke Manado pada tahun 2013 untuk acara reuni dengan teman-teman SMP. Warna biru sudah mulai pudar, tetapi sol masih empuk dan nyaman untuk tumit. Sol yang terbuat dari karet agak tidak kompak dengan rumput yang basah. Sekali waktu ketika di danau Linou, saya hampir terpeleset.

Kemudian sepatu yang sama juga menemani saya ketika menemui 'David Beckham' untuk olah raga ringan di Bangkok. Enak, sol sepatu sama sekali tidak mengganggu pergerakan badan.

Saya juga mengajaknya untuk melihat Kawah Putih, ke Tiku(Sumatra Barat) dan terakhir pada perjalanan 10 hari ke Makassar, Toraja dan Manado. 

Ada cerita mengenaskan di perjalanan terakhir ini. Tanpa sengaja saya menginjak air kotor di Makassar, alhasil sepatu basah. Saya tidak bisa mencuci sepatu karena khawatir sepatu ini tidak kering dan ini satu-satunya alas kaki yang saya bawa. Untuk selanjutnya dalam perjalanan, saya terganggu dengan bau tidak segar dari sepatu. Walaupun sudah diatasi dengan menuang bedak bubuk, memasukkan tisu basah, tapi bau itu tidak juga hilang, hanya sedikit berkurang. Kaos kaki yang setiap hari saya ganti pun ikut-ikutan berbau tidak sedap.

Kini sepatu kanvas biru sudah banyak temannya. Pabrik sepatu itu mengeluarkan produk sejenis dalam berbagai warna, hitam, abu-abu, cokelat, pink, putih dan lain-lain. Semua dengan ciri yang sama, ada lubang berdiameter satu centimeter di bagian tumit.


Wednesday, December 24, 2014

TANA TORAJA: Pohon Tarra

Perjalanan pada hari ketiga di Tana Toraja semula di fokuskan pada daerah Selatan, tapi cuaca tidak mendukung. Akhirnya banyak dilakukan penyesuaian. Ah, sayang sekali.

Usman yang menemani perjalanan kali ini bercerita tentang tata cara 'penguburan' bayi orang Toraja. Seperti diketahui khalayak ramai, duile, Toraja terkenal dengan kebudayaan yang unik, salah satunya mengenai tata cara penguburan bayi. Bayi yang meninggal sebelum mempunyai gigi akan diletakkan di dalam lubang yang terdapat pada pohon Tarra. Pohon ini dipilih karena memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu. Dan batang pohon itu dianggap sebagai rahim ibu, sehingga pengembalian mayat bayi ke dalam 'rahim' ibu bisa menyelamatkan bayi-bayi selanjutnya.

Pada hari itu, kami tidak menemukan pesta peletakkan bayi ke dalam pohon Tarra. Kabarnya, bentuk pestanya pun sederhana saja, berbeda dari pesta peletakkan mayat orang dewasa. Sebagai ganti dari acara peletakkan bayi, kami ditunjukkan pohon Tarra yang berada dekat jalan.

Pohon ini tinggi dan berdiameter besar. Di batang pohon, tampak ijuk-ijuk yang digunakan untuk menutup lubang setelah bayi dimasukkan. Semakin tinggi strata sosial bayi, maka semakin tinggi pula letak lubang pada pohon.

Hmm, hidup dan mati tidak lepas dari strata sosial.

Tuesday, December 23, 2014

KUDUS: Museum Kretek



Obrolan renyah dengan Tari tentang lentog, nama makanan, akhirnya berlanjut dengan rencana kunjungan ke Kudus. Sebenarnya, kalau diingat-ingat beberapa tahun ke belakang, saya pernah berencana ke Kudus ketika masih menjadi pegawai dengan jam kerja delapan sampai patgo (jam empat langsung go). Alhamdulillah, tertunaikan.



Kudus. Kudus. Kudus. Mengapa Kudus? Nama itu seperti punya magnet tersendiri. Ketika Tari, teman jalan, menanyakan lokasi dan makanan yang mau dicoba, saya sama sekali blank. Itu karena daya tarik kunjungan hanya berdasarkan nama. Begitulah kekuatan nama.



Dan ketika kunjungan ke Kudus terjadi, salah satu tempat yang menjadi tempat pijak ialah Museum Kretek. dari penginapan, kami diantar abang becak yang sepertinya mengenal Tari cukup baik. Pagar museum mengelilingi halaman yang luas, ditumbuhi rumput dan pohon mangga. yang sedang berbuah lebat, pula.

Bangunan museum terletak di bagian tengah, sedangkan di sisi kanan terdapat rumah adat Kudus yang terbuat dari kayu, dihiasi ukiran. Saya terus terang bingung kaitan antara rumah adat Kudus dengan museum kretek. Pasti somewhere ada penjelasan logis mengenai penempatan rumah adat Kudus di areal Museum Kretek.
Setelah membayar tiket masuk seharga dua ribu rupiah per orang, saya langsung melihat lampu, kayaknya sih kristal yang digantung di tengah-tengah ruangan. Museum ini diresmikan tahun 1986 oleh Soepardjo Roestam yang ketika itu jabat sebagai gubernur Jawa Tengah. Pembangunan museum ini terinspirasi dari pesatnya perkembangan rokok kretek di Kudus yang menggerakkan perekonomian warga.

Bagian dalam museum dipenuhi patung-patung dan berbagai alat pembuat rokok kretek. Semua itu bertujuan untuk menjelaskan sejarah rokok kretek, sejak diolah secara manual hingga menggunakan teknologi.  Satu ruangan berfungsi sebagai Bioskop Museum Kretek, tapi saya tidak punya kesempatan untuk menonton di situ. 

 
Ada juga foto-foto pengusaha rokok kretek yang pernah jaya di Indonesia, termasuk Nitisemito pemilik pabrik Bal Tiga. Sejarah pengusaha ini dijelaskan rinci. Dokumentasi  tentang perkembangan pabrik rokoknya juga lengkap. 







Hmm, satu pertanyaan yang menggelitik: apakah ketika itu sudah ada kesadaran tentang dampak rokok?

Monday, December 22, 2014

TOMOHON: Pasar Beriman Tomohon

Hampir jam 08:30, Didi yang akan mengantar perjalanan kami tiba. Berpakaian safari dengan sepatu pantofel. Wuih, padahal kami hanya berpakaian casual aja: ada yang dengan celana pendek, rok kibar-kibar, jeans coret-coret, kaos warna plentang-plenting, ransel dan sepatu kets Pertama kali disebut lokasi tujuan, Didi kaget. Ekspresi mukanya bertanya: "Ngapain jauh-jauh ke pasar? Kayak di Jakarta enggak ada pasar aja." Sejenak kemudian, dia angguk-angguk, kepala tentunya, bukan dengkul. "Saya belum pernah ke sana. nanti kita cari," katanya. Yak, perjalanan dimulai. Tujuan pagi ini pasar tradisional.


Benar saja. Didi sempat tiga kali berhenti untuk bertanya arah menuju pasar ini. Dan ketika tiba di tempat parkir pun, Didi berpesan: "Saya temani." Nada suaranya itu yang bikin kami enggak bisa nolak. Patuh, serasa lagi disuruh oleh bapak pembina upacara. Jadilah kami masuk pasar berbaris, mengikuti Didi.

Namanya sungguh unik: Pasar Beriman Tomohon. Entah kenapa dinamakan beriman. Komoditas yang dijual di sini seperti pasar tradisional lainnya. Ada sayur, bumbu masak, bunga potong, buah, daging dan lain-lain. Nah, komoditas daging ini pembedanya. Jika kita umum melihat daging sapi dan segala macam organ tubuh yang dijual di pasar, di Pasar Beriman ini menjual berbagai macam hewan yang lazim dikonsumsi penduduk setempat.

Di dekat tempat parkir, ada penjual bambu hijau yang telah dipotong-potong untuk keperluan masak nasi jaha. Seperti lemang pada orang Minang, nasi jaha ini menggunakan jahe. Rasanya lebih gurih. Agak masuk, akan ditemui ibu-ibu duduk di dingklik menjajakan cumi dan ikan. Meskipun Tomohon berada di dataran tinggi, tapi cumi dan ikan itu tampak segar.


Di los yang menjual daging,  dengan mudah ditemui kandang anjing yang tentunya berisi anjing hidup. Tampang mereka sedih dan memelas. Bagaimana tidak. Mereka bisa melihat teman-teman mereka yang sedang dibakar di tempat yang hanya berjarak satu meter dari kandang. Setelah bulu-bulu habis, anjing mati yang kini berwarna hitam di letakkan di atas kandang anjing.

Ah, buru-buru pindah lokasi. Di bagian ini tampak paniki atau kelelawar yang telah dipisahkan antara badan dan sayap. Sepertinya mereka dijual terpisah. Seperti yang dicelotehkan Umi, teman jalan, sayap kelelawar mirip jamur kuping. Emang, bentuknya mirip. Entah rasanya.
 
Di bagian lain ada tikus yang ditusuk sepotong batang pohon dari bagian bokong. Kelompok hewan ini pun sudah dibakar, sehingga tidak lagi berbulu. Tidak jauh dari situ, ada penjual ular. Wow. Badan ular dengan corak kulitnya yang indah dipotong-potong. Hmm, mengapa tidak dikuliti dulu? Bukankah harga kulit ular tinggi?



Babi dan babi hutan juga mudah ditemui di pasar ini. Beberapa kepala babi teronggok dengan ekspresi lucu. Mereka bukan Miss Piggy, begitu yang seringkali saya ingatkan pada diri sendiri. Di bagian lain juga ada kucing.


Sudah! Saya tidak tahan untuk melanjutkan. Ekstrim memang, tapi begitulah Pasar Tomohon, yang menjadi daya tarik wisatawan lokal dan asing untuk berkunjung.




MANADO: Resto Kampoeng Minahasa

Perjalanan panjang yang dimulai sejak jam 08:30, hampir tiba di titik akhir: tempat makan. Jadwal makan kali ini merangkum makan siang dan malam sekaligus. Kenapa begitu? Ini sama sekali bukan dalam rangka penghematan, tapi karena  Didi, yang mengantar kami, tidak menemukan tempat makan yang sesuai di rute perjalanan yang dilewati. Sejak sarapan, perut hanya diganjal dengan crackers abon, pisang goreng dan air.

Ketika sampai di Kampoeng Minahasa, hari sudah mulai gelap. Kami diantar ke saung yang kosong dan langsung diberikan buku menu yang dijilid hard cover. Aih, jadi inget skripsi. Pelayan memberikan informasi jelas mengenai nama dan ukuran ikan yang akan dipesan. Maklum, nama ikan yang ditulis di buku menu menggunakan nama yang biasa dipakai orang Manado. Cukup banyak pula pilihan sayur. Eh, di sini, paku pun dimasak. Paku sebutan lain untuk pakis.

Selagi menunggu pesanan datang, yang memang lama, kami menyaksikan lompatan kelinci-kelinci gemuk. Mereka banyak tersebar di atas rumput yang memisahkan antara satu saung dan saung lainnya. Hasil pengamatan para amatir, ini kelinci impor. Asik mengikuti pergerakan mereka dengan badan yang ginuk-ginuk. Di beberapa tempat juga tampak kandang besi mereka. Ah, tapi mereka belum bisa menggantikan rasa lapar.
ernafit.blogspot.com

Pesanan datang akhirnya. Apakah rasa sesuai dengan waktu tunggu yang panjang? Tumis paku enak. Tumis kangkung dengan batangnya yang crunchy, tapi rasa standar dan terlalu berminyak. Ikan goropa cukup bumbu hanya kurang pedas. Apa ini akibat harga rica yang sedang tinggi? Udang saus sedikit di bawah harapan, tapi bakwan jagungnya juara! Renyah dan sarat bumbu. Bagaimana dengan harga? Well, masuk batas atas.

Pesan penting untuk calon pengunjung: Datanglah sebelum lapar.