Tuesday, October 30, 2012

Om Siswo


            “Enak juga jalan kaki kalau adem seperti ini,” kata Sashi.  Sashi dan Nasha berjalan kaki sepulang dari sekolah.

            Nasha mengangguk setuju.  “Apalagi kalau sembari makan es krim.  Sedaaaapp.”  Nasha tersenyum membayangkan dirinya berjalan kaki sambil makan es krim.

            “Hiiiii, gak ah.  Malah kotor kena debu.”  Sashi tidak setuju.

            Di ujung jalan, mereka melihat seseorang sedang mengikat bendera kuning di tiang listrik. 

            “Siapa yang meninggal ya?” bisik Nasha.  Dia memindahkan tasnya dari pundak sebelah kiri ke pundak sebelah kanan.

            “Itu rumahnya Om Siswo,” kata Sashi menjelaskan.  “Om Siswo kali yang meninggal.  Dia sudah lama sakit gula.”  Sashi kenal baik dengan keluarga om Siswo.  Rumah Sashi hanya berjarak dua rumah dari rumah om Siswo.

            Ketika melewati depan rumah om Siswo, Nasha dan Sashi melihat beberapa orang yang sedang memindahkan kursi-kursi ke luar rumah.  Pintu depan rumah terbuka lebar.  Di ruang tamu terlihat satu buah tempat tidur.

            “Nash, nanti sore jadi mau mengerjakan tugas poster?” tanya Sashi sambil membuka pagar rumahnya.

            “Gak bisa, Shi.  Hari ini aku ada les lukis.  Besok aja, deh.  Kan masih ada waktu tiga hari lagi.”

            “Oke deh.  Sampai besok ya?  Berangkat bareng kan?” tanya Sashi.

            Nasha mengangguk.  Nasha masih harus menempuh lima puluh langkah untuk sampai ke rumah.

                                                                      ***

            “Bu, om Siswo meninggal.  Sakit gula,” kata Nasha.

“Kapan meninggalnya?  Kok Ibu belum dengar?” tanya Ibu.

            “Enggak tau, Bu.  Tadi waktu lewat depan rumahnya, kulihat ada bendera kuning.  Banyak orang yang lagi angkat kursi-kursi…”  Nasha memasukan suapan terakhir ke mulut. 

            “Nanti kita pergi sama-sama saja, Sha.  Ibu melayat sebentar, setelah itu baru Ibu mengantar kamu ke Sanggar Kuas.  Mau kan?”

            “Iya, Bu.”  Nasha berdiri dan membawa piring-piring kotor ke tempat cuci piring. 

                                                                    ***

            Sudah banyak orang yang datang di rumah om Siswo.  Sebagian besar bukan tetangga sekitar lingkungan perumahan Nasha.  “Mungkin saudara om Siswo,” pikir Nasha.

            Ibu langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari tante Siswo.  Tante Siswo ternyata sedang berbicara dengan sekelompok anak muda.  Ibu berdiri beberapa langkah di belakang tante Siswo.  Ibu menunggu tante Siswo selesai berbicara.  Nasha berdiri di samping ibu.

            Tiba-tiba dari kamar sebelah kanan, keluar om Siswo.  Dengan cepat Nasha menarik tangan ibu dan menunjuk ke arah kanan.

            “Jadi siapa yang meninggal?” bisik Ibu.

            Nasha menggeleng.  Matanya terus menatap punggung om Siswo yang berjalan menuju belakang rumah.

            “Eh, ada Bu Ramasdin dan Nasha.  Maaf, saya tadi tidak lihat,” sapa tante Siswo.

            Ibu tersenyum.  “Saya lihat bendera kuning, makanya saya mampir.  Siapa yang meninggal?” tanya Ibu sambil menjabat tangan tante Siswo.

            “Bimo, sepupu saya yang baru datang dari Surabaya.  Dia mengalami kecelakaan di jalan tol,” tante Siswo menjelaskan.

            “Oh..., kami turut berduka cita.  Kapan akan dimakamkan?”

            “Kami masih menunggu orang tuanya.  Mereka sedang dalam perjalanan menuju Jakarta.”

            Nasha tertunduk lesu.  Dia menyesal telah salah menyampaikan berita dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan berita.

Bobo No. 37 tahun XXXVIII 23 Desember 2010

Monday, October 29, 2012

Ini Cerita Horor



“Kak,  ibu kapan pulang?” tanya Andriana.  Ia melirik jam dinding.  Baru jam 6:10 menjelang malam, tetapi langit sudah gelap sekali.  Sebentar lagi, pasti hujan lebat. 
“Gak tau,” jawab Ari pendek, tanpa mengangkat muka dari komik yang sedang dibacanya.
Sudah lebih dari tiga jam ibu pergi ke rumah Tante Rahimi.  Andriana dan Ari tinggal berdua saja di dalam rumah. 
            Akhirnya Andriana duduk di samping Ari.  “Kok ibu lama sekali?”
            “Iya,” jawab Ari.  Dua halaman lagi Ari selesai membaca komik.  Ari tidak suka berhenti membaca ditengah-tengah cerita.
            Andriana mengambil gagang telepon dan menghubungi nomor telepon Ibu.  Tetapi tidak ada nada sambung.  Andriana meletakkan gagang telepon ke tempat semula dan kembali duduk di dekat jendela. 
            “Adek, telepon Ibu?” tanya Ari sambil meletakkan komik berjudul Monster Pavo di atas meja. 
            Andriana mengangguk.  “Tapi gak bisa...”
            “Hmm, tadi Ibu bilang cuma pergi sebentar...,” gumam Ari.  Ari terhenti ketika kilat tiba-tiba menyambar.  Cahaya yang menyilaukan mata masuk melalui jendela yang terbuka.  Andriana menjerit.  Kepalanya disembunyikan di bawah bantal.  Tidak lama kemudian terdengar suara guruh yang menggelegar.  Kali ini Andriana dan Ari menjerit bersamaan. 
            Air hujan turun dengan lebat.  Angin menghempas-hempaskan daun jendela dan tirai.  Pelan-pelan, Ari mendekati jendela dan menutupnya.  Tangan dan lengan bajunya basah terkena air hujan.  “Kak Ari mau telpon Ibu.”
            “Ikuuuut,” teriak Andriana sambil berpegangan di punggung Ari.
            Ari mengangkat gagang telepon, tetapi tidak ada nada sama sekali.  “Gimana nih? Sekarang telpon kita yang mati.”
            Andriana tidak komentar.  Ia terus memegangi punggung kakaknya.
            “Tirainya sudah ditutup.  Jadi kilat tidak akan masuk ke sini,” kata Ari sambil mencoba melepaskan Andriana dari punggungnya.  Tetapi tidak berhasil.  Andriana memegang punggung Ari dengan erat. 
            Tiba-tiba terdengar lagi bunyi guruh yang menggelegar.  Rumah terasa bergetar.  Dan, listrik mati!  Kali ini, Ari memeluk Andriana.  Ari pun takut.  Matanya terpejam erat.
            Setelah beberapa saat, suasana kembali tenang.  Hanya terdengar bunyi rintik-rintik air hujan di teras.
            “Pakai lilin, Kak,” kata Andriana.
            “Adek yang ambil, ya?” bujuk Ari sambil mendorong pelan Andriana ke arah dapur.
            “Gak.  Adek takut.  Gelap.  Kakak aja...”
            Ari menggeleng.  “Kita di sini aja.  Gak usah pakai lilin.”  Ari juga tidak berani mengambil lilin yang disimpan di lemari dapur.  Pasti di dapur juga gelap.
            “Krreeekk tak.  BUM!”  Terdengar suara dari luar rumah.
            Andriana terlompat, kaget.  “Bunyi apa tuh?”
            Ari tidak menjawab.  Walau bulu kuduknya berdiri, Ari mendekati pintu.  Ia ingin tahu asal suara tadi.    Tetapi angin terlebih dahulu menghentakkan pintu yang tidak tertutup rapat.  Sekarang pintu terbuka lebar.  Cahaya kilat yang datang tiba-tiba menampilkan bayangan gelap di depan pintu.  Besar sekali. 
            “Hiii..., itu apa?” tanya Andrina.    
            “Ja...jangan...,” teriak Ari mundur selangkah.  Tetapi bayangan gelap itu terus maju mendekati Ari.
            Bulu kuduk Andriana dan Ari berdiri.  Mereka memejamkan mata.
            Cut!”  teriak Om Heru, sutradara.  Dan lampu-lampu dihidupkan kembali. 
            Semua asisten Om Heru bertepuk tangan.  “Baguuus...  Tadi acting-nya bagus,” seru mereka. 
            “Wah, lega...  Shootingnya sudah selesai,” kata Ari tersenyum.
            “Belum.  Besok shooting bagian terakhir.  Di taman,” kata Om Heru. 
            “Kok Om lama sekali teriak cut?  Aku tadi takut sekali,” protes Andriana.
            “Ah, masak takut dengan kilat dan guruh?  Mereka kan tidak bisa memarahimu.”            
            Andriana, Ari dan seluruh asisten Om Heru tergelak, “ Hahahaha..."

Dimuat di BOBO 46 XXXIX 23 Februari 2012

Monday, October 22, 2012

Minmie: Sepatu yang Berkilau (Minmie: Shining Shoes)


Minmie mengajak Oscar pergi, tapi Oscar bilang ia tidak punya sepatu yang pantas. Ah, apa iya? Padahal sepatu Oscar banyak. Ternyata sepatu-sepatu Oscra sudah kusam. Minmie membantunya membuat sepatu-sepatu itu berkilau kembali. Eh, apa bisa?

Judul: Minmie: Sepatu yang Berkilau (Minmie: Shining Shoes)
Penulis: Erna Fitrini
Ilustrator: 1304r
Editor: Moemoe
Penerbit: DAR! Mizan
ISBN: 978-979-066-997-0
 Harga: Rp 19.000,-

Berminat? Bisa pesan di sini atau beli di toko buku lainnya.

Monday, October 8, 2012

Wekaburi Lake



Isosi, Grandma and their dog went to a party. They enjoyed the party until one man stepped on the dog. The man didn't want to apologize. So Grandma did something forbidden. What was the result?

Title: Wekaburi Lake
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 09 Volume X October 2012

Saturday, October 6, 2012

Flying Solo


Acil had to fly alone to Manado because mother had another business to do. Well, he could manage it. But the old woman next to him said something that made him scared. What did he hear?

Title: Flying Solo
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 09 Volume X October 2012

Thursday, October 4, 2012

Squirrel and Friends: I Can't Move!


Squirrel and friends were invited. Rabbit ate, ate and ate until he...  Can you guess what happened to him?
Title: Squirrel and Friends: I Can't Move!
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 09 Volume X October 2012

Wednesday, October 3, 2012

Tunas Integritas

Setelah menerbitkan modul antikorupsi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa, Komisi Pemberantasan Korupsi meluncurkan buku seri bacaan anak berjudul "Tunas Integritas" dengan sasaran jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Peluncuran buku seri yang terbit berkat kerja sama antara KPK dan Forum Penulis Bacaan Anak (FPBA) ini dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Selasa (2/10),di auditorium KPK, JL. HR. Rasuna Said, Jakarta, disaksikan para jurnalis, penulis buku, dan perwakilan dari Kemendiknas, BKKBN, dan Kemenag.

“Buku seri ini terdiri atas enam paket yang masing-masing berjudul Wuush, Byuur, Ungu di Mana Kamu?, Ya Ampun!, Ini, Itu?, dan Hujan WarnaI-warni,” ungkap Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK, Dedie A. Rachim.

Kolaborasi KPK dan FPBA dalam penerbitan buku ini diawali dengan training dan workshop antikorupsi yang dilaksanakan di Bandung pada akhir 2011, yang diikuti para kreator bacaan anak. Buku yang merupakan komitmen dan upaya para kreator bacaan anak dalam pemberantasan korupsi ini memunculkan karakter Keluarga Kumbi (dung beetle). "Jika kumbang berperan besar dalam membuat kondisi tanah kondusif bagi pertumbuhan tunas tanaman, maka KPK dan FPBA lewat seri 'Tunas Berintegritas' ini berusaha memberikan stimulasi bagi anak-anak Indonesia untuk tumbuh dengan nilai-nilai integritas," papar Dedie.

Menurutnya, kegiatan ini dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang bahwa dalam upaya pencegahan korupsi, KPK harus melakukan pendidikan antikorupsi pada semua jenjang pendidikan. “Anak-anak yang saat ini berusia 4-5 tahun harus dibekali dengan sebuah senjata untuk melawan korupsi,” tambah Dedie. Menurutnya,

Sementara itu, Ketua FPBA, Ari Nilandari, menjelaskan bahwa buku-buku yang diterbitkan berkaitan dengan penanaman sejak dini sembilan nilai integritas melalui buku cerita. Keunggulan buku ini adalah dalam satu paket terdapat lima genre, yakni fabel, realistis kontemporer, dongeng, cerita fantasi, aktivitas anak. “Juga ditambah interaktif,” lanjut Ari.

Setiap buku memiliki style dan ilustrasi yang berbeda-beda agar dapat memberikan stimulasi visual bagi anak-anak. Yang terpenting, tambah Ari, cerita yang disajikan dalam buku ini bersifat menghibur dan tidak menggurui. “Kami pikir untuk anak-anak adalah bukan lagi cerita yang isinya terlalu berat pesan moralnya, sehingga anak-anak susah menikmatinya,” tambahnya. Dalam setiap buku juga diselipkan puisi-puisi untuk mengasah kebahasaan anak.

FPBA sendiri merupakan organisasi nirlaba yang beranggotakan penulis, ilustrator, editor, desainer, penerbit, partisipan, wartawan, media, dan pemerhati bacaan anak. Sejak resmi berdiri pada 2 mei 2010, FPBA memiliki anggota lebih dari 2000 orang.

(Humas KPK)
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=3089