Saturday, September 21, 2013

Where Are They?

Squirrel was busy thinking when Bee came to help him.
Title: Where Are They?
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 20 Volume XI September 2013

Monday, September 9, 2013

Umay di Sekolah Baru


            May, cepat makannya.  Kita berangkat,” ajak Kak Kiki sambil berjalan ke teras depan.  Ia akan mengantar Umay karena ini hari pertama Umay sekolah di Jakarta.  Sebelumnya Umay bersekolah di Surabaya, kota tempat bapaknya tinggal.
            “Pagi amat, Kak.”  Umay terus mengunyah roti selai kacang.  “Tuh, langitnya masih gelap.”
            “Sekolah mulai jam setengah tujuh.  Jam segini harusnya Umay sudah berangkat,” kata Ibu.
            “Iya, Bu.”  Umay mengunyah lebih cepat.  Dan diakhiri dengan segelas susu putih.  Umay berangkat, Bu,” salam Umay.
            “Nanti Kak Kiki yang menjemputmu.  Jangan pulang sendiri,” pesan Ibu.
            “Oke, Bu,” jawab Umay dari depan pintu.
             “Sudah siap?” tanya Kak Kiki yang menunggu di teras depan. 
            Umay mengangguk pasti.  Kak Kiki anter sampai sekolah, kan?” tanya Umay.
            “Iya, tapi hari ini saja.  Besok kamu pergi sendiri,” jawab Kak Kiki.
            “Kalau Umay diculik, gimana Kak?” tanya Umay asal.
            “Kamu teriak, lalu tendang kaki penculik di bagian sini.”  Kak Kiki menunjukkan bagian tulang kering.  “Setelah itu, kamu lari buru-buru,” jawab Kak Kiki serius.  “Ini rumah Om Bambang.  Di sini, kamu belok kiri.”  Kak Kiki menunjuk ke rumah besar yang berwarna biru.
            Umay tidak terlalu memperhatikan rumah Om Bambang. Ia masih bertanya tentang proses melarikan diri dari penculik.  “Kalau penculik itu marah, gimana Kak?” tanya Umay lagi.
            “Diamkan saja. Pokoknya, kamu lari buru-buru.” Mereka berhenti di dekat lampu merah. “Tunggu sampai lampu merah menyala dan mobil berhenti.  Baru kamu menyeberang jalan.”
            “Kalau mobilnya enggak mau berhenti, gimana Kak?”
            “Hmm, pagi ini kamu cerewet sekali,” gumam Kak Kiki.  Ia menunjuk ke arah polisi yang sedang berdiri di seberang jalan.  “Tuh ada pak polisi.  Kamu bisa minta tolong dia.”
            “Dikasih duit berapa, Kak?” 
            “Hush!  Tidak perlu.  Pak polisi itu senang membantu, kok.”  Kak Kiki menjawab pertanyaan Umay dengan serius.  Ia ingin memastikan bahwa esok hari, Umay bisa berangkat ke sekolah sendiri. “Nah, sekolahmu sudah kelihatan dari sini.  Ituuu,” tunjuk Kak Kiki.
            Lampu merah menyala dan kendaraan berhenti di belakang garis zebra cross.  Beberapa penyeberang jalan juga berseragam sekolah seperti Umay. 
            “Besok kamu bisa menyeberang sama-sama dengan mereka.  Pokoknya tunggu sampai lampu merah menyala dan mobil-mobil berhenti,” ulang Kak Kiki.  “Sekarang kamu masuk kelas.  Masih ingat kelasmu?”  Kak Kiki menunjuk ruang kelas yang ada di pinggir kanan.

Cerita lengkap bisa dibaca di Majalah Bobo.            

Judul: Umay di Sekolah Baru
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 21 XLI 29 Agustus 2013

Wednesday, September 4, 2013

Timun Berkebun


              “Pak! Pak!” teriak Bu Junaedi dari depan rumah.
            Pak Junaedi buru-buru keluar rumah sambil membetulkan letak kopiah.  “Ada apa, Bu?”
            “Aku punya berita penting.  Super penting,” jawab Bu Junaedi. 
            “Tentang ramuan ajaib itu?”
            Bu Junaedi mengangguk.  “Menurut orang-orang di pasar, Buto punya ramuan itu.”
            “Buto?  Buto Hejo?”  Pak Junaedi mendelik kaget.  “Hah, siapa yang berani meminta ramuan dari dia?”
            “Kita, Pak,” jawab Bu Junaedi yakin.  
            “Bagaimana kalau ia menangkap kita?”
            “Ah, jangan berpikir yang seram-seram,” kata Bu Junaedi cepat.  “Bayangkan kalau Buto memberi kita ramuan ajaib.”  
            “Tentu kita akan segera punya anak,” lanjut Pak Junaedi bersemangat. Mereka lalu pergi ke pondok Buto Hejo i hutan.
            “Permisi,” Pak Junaedi memberi salam di depan pondok kayu besar milik Buto Hejo.
            “Ulangi, Pak.  Lebih keras,” bisik Bu Junaedi.
            Sebelum mengulang salam, mereka mendengar suara langkah kaki.  Tak lama menunggu, mereka melihat Buto Hejo ke luar pondok.
            “Hai, Pak dan Bu Junaedi.  Tumben datang.  Ada apa?” sapa Buto.  “Silakan duduk sini.”  Buto menunjuk ke bangku yang terbuat dari jalinan batang pohon.
            “Begini, Buto Hejo, kami mau minta ramuan ajaib agar cepat punya anak,” jawab Pak Junaedi. 
            “Benar begitu?”  Buto Hejo memastikan.
            Bapak dan Ibu Junaedi mengangguk penuh semangat.
            Buto Hejo mengambil botol kecil dari dalam saku celananya dan menyerahkan botol itu kepada Pak Junaedi.  “Minum ini lima kali sehari.”
            “Hanya itu?” tanya Bu Junaedi ragu-ragu.
            “Hahahaha,” Buto Hejo tertawa keras.  “Tentu tidak, hahaha.  Nanti aku akan datang kalau anakmu sudah besar.”
            “Untuk apa?” tanya Bu Junaedi.
            “Tentu saja untuk mengambil anakmu itu, hahaha.”
            Pak Junaedi menyikut lengan Bu Junaedi.  “Bagaimana ini?” bisiknya.
            “Terima saja ramuan itu,” jawab Bu Junaedi tegas.
            “Terima kasih, Buto Hejo.”  Bapak dan Ibu Junaedi meninggalkan pondok Buto Hejo, membawa sebotol ramuan ajaib.
***
            “Timun, Timun Mas, sini,” panggil Bu Junaedi.
            Timun Mas datang.  Kringring…ring, lonceng-lonceng kecil di gelangnya berbunyi.  Ia melihat ekspresi serius di muka ibu dan bapaknya.  Hmm, ada apa nih?
            “Kamu sudah besar, nak,” kata Pak Junaedi.  “Jadi kami pikir kamu perlu tahu rahasia ini.”
            “Ada apa sih?  Kok aku jadi deg-degan,” kata Timun Mas.
       
Cerita lengkap bisa dibaca di majalah Bobo.

Judul: Timun Berkebun
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 21 XLI 29 Agustus 2013

Monday, September 2, 2013

Bertemu Mozart



            Ini hari ketiga aku berada di Salzburg, menemani Ibu yang mengikuti kongres. Selama Ibu kongres, aku hanya diijinkan berjalan-jalan dua blok dari hotel agar aku tidak tersesat. Aku mengunci pintu kamar dan turun ke lobby.
Di dekat pintu ke luar, Renee menghampiriku. “Hello, Fitri. Hari ini ke mana?” Renee satu-satunya karyawan hotel yang bisa berbahasa Indonesia karena ibunya berasal dari Pekalongan.
            “Belum tau,” jawabku jujur.
            “Ingat, dua blok saja,” kata Renee. Sejak kami menginap di sini, Renee sudah mendapat pesan dari Ibu. Dan Renee akan mengingatkanku untuk tidak berjalan lebih dari dua blok.
            Aku mengangguk. “Renee, ada tempat lainnya yang bagus?”
            Renee menyebutkan beberapa tempat dalam radius dua blok, tetapi semua telah kudatangi.
            “Yang lain?” tanyaku.
            Renee mengetuk-ngetuk ujung hidungnya yang lancip. “Well, ada. Dan aku yakin kamu pasti suka,” jawab Renee ragu-ragu.
            “Di sebelah mana?”
            “Hmm, ini lebih dari dua blok.”
            “Ayolah, kasih tau,” bujukku sambil menarik ujung seragam Renee. “Dua blok sudah habis kukunjungi dalam dua hari.” Aku memasang tampang memelas. Horeee. Usahaku sepertinya berhasil.  

            Baca cerita lengkap di Majalah Bobo.

Judul: Bertemu Mozart
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 20 XLI 22 Agustus 2013