Thursday, October 30, 2014

MANADO, SETELAH BERPULUH-PULUH TAHUN SILAM



Waktu sudah lewat jam empat sore ketika kami, saya dan Iyes ke luar dari bandara Sam Ratulangi. Ini kali pertama saya ke Manado setelah meninggalkan kota ini lebih dari 25 tahun silam. Bandara sudah banyak berubah, eh, tentu saja. Anjungan kedatangan luas dan tampak bersih. Tidak bisa berlama-lama mengamati interior bandara karena Rafia dan Amay, dua teman jaman sekolah di SMPN 1 Manado dulu, sudah melambai-lambaikan tangan di dekat pagar penjemput. Keduanya tidak berubah, senyum lebar dan ramah, meskipun menjemput kami ini pastinya ganggu jadwal kerja mereka.
Kita berjalan menuju tempat parkir, saya sempatkan melihat bangunan bandara bagian luar. Di tembok bagian atas, tertulis Sitou Timou Tumou Tou. Ini bahasa Minahasa yang jauh berbeda dari bahasa Manado. Bahasa Manado yang dulu sedikit saya kuasai waktu di SMPN1 saja lupa, apalagi bahasa Minahasa, yang sering terdengar seperti gesekan daun kelapa. Jadi, apa artinya? Let’s check om google. Katanya, itu cara pandang orang Minahasa terhadap dirinya dan orang lain. Well, daleeemmm.
Baru beberapa menit di dalam mobil, Rafia sudah menantang dengan pertanyaan yang menggugah organ pencernaan. “Ngoni dua lapar, toh?” Saya dan Iyes sempat saling pandang. Mau bilang 'tidak lapar' karena beberapa menit sebelum landing, kami baru menamatkan roti isi jatah snack dari Garuda. Konsekuensinya, kami kehilangan kesempatan pertama kuliner di Manado. Hmm, berat! Akhirnya, Amay menengahi, “Makan, jo!” Amay dan Rafia memang penuh pengertian. Hehehe.
Tempat makan pertama hari itu di Pondok Teterusan yang terletak dekat bandara, luar kota Manado, dan berseberangan dengan hutan. Memiliki tempat parkir yang luas, rumah makan ini juga punya banyak kolam yang di atasnya ada saung tempat makan. Kami menuju dapur dan memesan empat nasi, ikan mujaer, kangkung dan air jeruk.

Tidak lama, pelayan membawakan pesanan ke saung tempat kami menunggu. Ukuran ikan termasuk besar untuk dimakan sendiri. Daging ikannya terasa manis, mungkin karena baru ditangkap. Bumbu pendampingnya lengkap sehingga tidak tercium bau anyir. Rica-rica ditaburkan di atas ikan. Biji cabe rawit banyak yang masih terlihat utuh dan menggoda untuk dicolek. Telunjuk terulur mencolek rica-rica seksi itu dan sekejap berpindah tempat ke lidah. Ups, pedes bener dan harum. Pasti minyak kelapa bikinan sendiri yang membuat rica-rica ini jadi juara. Di piring lain, tersaji daun kangkung dengan warna hijau segar. Saya menarik satu tangkai dan membentangkan daunnya. Hah! Ukurannya masih sama besar seperti dulu. Memang ukuran daun kangkung di sini jumbo, tapi empuk. Batang kangkung masih bunyi kres-kres ketika digigit.

Menyesal, ukuran perut tidak sebanding dengan makanan yang dihadapi. Saya dan Iyes gagal menghabiskan nasi, tapi tidak begitu dengan ikan mujaer dan kangkung. Mereka tandas. Pasti ini gara-gara bayangan pertanyaan orang pesimis ‘kapan lagi bisa mampir di sini?’ Bagaimana dengan rica-rica? Hanya seperlima porsi yang bisa kami habiskan. Daya tahan lidah kami terbatas. Saya sempat melihat piring ikan Rafia dan Amay. Kosong. Mereka menghabiskan semua rica-rica. Hebat beneeeer.
Malam hari di hotel Sahid Kawanua, saya dan Iyes bertugas jaga di toilet. Perut kami berontak dan ini harus diselesaikan malam itu pula karena jadwal esok padat.
Pagi hari, setelah badai malam lewat, isi komunikasi saya dan Iyes: enggak nyesel makan ikan mujaer rica-rica. Dan enggak bakal nolak kalau ada yang ajak lagi. 

Monday, October 6, 2014

IKHLASKAN

Rasa kehilangan tidak pernah mudah dilewati, bergayut terus hingga pipi basah. Seperti rasa kehilangan yang ada di awal tahun 2014 ini. Alhamdulillah ada proses pembelajaran dari kejadian ini. Rasa itu berangsur tertutupi dengan 'kutipan' yang punya arti dalam.
Setelah pertimbangan ini-itu, akhirnya pemicu kisah dihilangkan. Bagian yang bikin nitik biar jadi milik pribadi. Kisah lanjutan dimuat pada rubrik Gado-gado, Femina.

Gado-gado, Femina No 38/XLII, 27 Sep -3 Okt 2014