Friday, February 22, 2013

Squirrel and Friends: Let's Jump!


Rabbit said that she had no energy to jump. Is it true?
Title: Squirrel and Friends: Let's Jump!
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 13 Volume X February 2013

Wednesday, February 20, 2013

FATAMORGANA (?)


BAB 2

Kesal Tanpa Batas
            Maureen mengganti-ganti saluran TV, tapi ia tidak juga menemukan saluran yang sesuai di antara lebih dari 25 saluran.  Ia memencet tombol merah dan layar TV langsung menghitam. Ia meletakkan remote ke samping bantal dan berguling menatap jendela.
            Langit gelap. Tampak beberapa lampu berpendar di kejauhan. Kini perutnya menuntut perhatian. “Tuh kan, seharusnya tadi ikut saja dengan Alaia dan Frits,” sesal Maureen.  Tapi ia buru-buru menggeleng sambil bangun dari tempat tidur. Ia berjalan ke jendela dan melihat ke bawah, jalan raya. “Ah, masih ramai,” gumam Maureen. Entah jalan raya sebelah mana yang ia lihat.
            Maureen memakai sepatu ketsnya dan berdiri sejenak di depan cermin dekat kamar mandi. Dengan terampil jari-jari tangannya mengatur letak helai demi helai rambut.  
Maureen mencabut kartu dari slot di dinding, membuka pintu dan berdiri di depan kamar. Lorong sepi. Dengan pintu-pintu menjorok ke dalam, orang bisa saja bersembunyi di sana. Maureen memastikan tidak ada orang berniat jahat yang bersembunyi pada lorong yang akan ia lewati. Setelah yakin lorong itu aman, ia kembali untuk menutup pintu kamar dan berlari di sepanjang lorong, menuju lift. Ia hanya perlu melewati dua kamar di tiap sisi.
Suara hentakan sepatu kets dengan lantai lorong berkarpet mungkin bisa terdengar hingga ke kamar yang di ujung. Maureen tersenyum. “Yah enggak apa-apa. Anggap aja artis lewat.”
            Maureen tersenyum mengingat kelakuannya barusan. “Pasti tadi gara-gara kebanyakan nonton film detektif.” Pintu lift terbuka. Maureen menunggu dan memberi jalan bagi seorang perempuan yang hendak ke luar dari lift. Perempuan berambut basah, eh, berambut model basah. Maureen masuk ke dalam lift dan melirik deretan tombol. Tombol lantai dasar yang ia tuju telah menyala.
            Akeh banget de'e nganggo gel,” suara anak perempuan dari belakang Maureen.
            Shhh, iku ager-ager seember, dudu gel,” balas suara anak perempuan lain sambil tertawa.
            Maureen mengatupkan bibirnya rapat, jangan sampai tawanya pecah di dalam lift. Pasti tuh anak bahas cewek yang ke luar lift sebelum aku masuk. Maureen memang tidak mengerti seluruh bahasa Jawa, tapi ia bisa mengira-ngira arti omongan kedua anak tadi.
(gunting)

Tuesday, February 12, 2013

Mencari Kantong Ajaib

Judul: Melodie Si Peri Musik
Penulis: Daisy Meadows
Alih Bahasa: Endar W.
Cetakan: 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo

          Melodie, peri musik, sedih. Kantong ajaibnya direbut dan dibawa lari Goblin, si perusak pesta.  Padahal, Melodie harus segera membetulkan pemutar CD yang diperlukan pada pesta ulang tahun sekolah balet.  Tanpa kantong ajaib itu, Melodie tidak bisa bekerja.

         Melodie senang ketika bertemu Rachel dan Kristy.  Mereka pun mencari Goblin bersama-sama.  Sayup-sayup, Melodie, Rachel dan Kristy mendengar suara piano di ruang musik.  Siapa yang memainkan piano?  Ruang itu kosong.  Mereka yakin Goblin sembunyi di dalam piano.  Melodie, Rachel dan Kristy menyusun strategi. 
            Kristy mengangkat tutup piano bersamaan dengan saat Melodie dan Rachel membunyikan simbal.  Suara simbal yang nyaring membuat kepala Goblin sakit.  Ia lari terbirit-birit, meninggalkan kantong ajaib milik Melodie.   
           Sekarang Melodie bisa membetulkan pemutar CD.  Tetapi, karena kurang hati-hati, Melodie dan Rachel terkurung di ruang musik.  Bisakah mereka keluar dari ruang musik?  Bagaimana caranya, ya?   

(Kompas, 12 Februari 2012)

Monday, February 11, 2013

FATAMORGANA (?)



BAB 1

Perjalanan ini
            Maureen membuka mata ketika goyangan kereta terasa sangat kuat. Jari-jari tangannya menghapus kotoran di kedua matanya. Ia melirik ke sebelah kanan. Alaia masih tertidur nyenyak sambil merangkul bantal kecil. Maureen menyibakkan kain jendela. Silau. Sinar matahari tepat mengenai wajahnya. Ia hanya sempat melihat pilar-pilar baja memenuhi jendela.
            Maureen teringat telepon selular yang ia matikan sebelum tidur. Ia mengambil telepon itu dari saku celana dan menghidupkannya. Ia menunggu beberapa saat menunggu masuknya pesan-pesan yang mungkin datang ketika telepon sedang mati. Benar saja. Ada satu pesan. Tiga angka terakhir …888. Nomor pengirim pesan tidak ada dalam daftar teleponnya, tapi Maureen hapal betul pemilik nomor ini.
            Maureen mengalihkan pandangan ke luar jendela. Telapak tangannya bermain-main di dagu, menunjukkan ia ragu. Sesaat kemudian, Maureen memasukkan telepon ke dalam saku celana tanpa membaca pesan yang masuk. Kini telapak tangannya menepuk-nepuk saku celana yang berisi telepon.
            Lengan Maureen terasa tersentuh. Ia menoleh.
            “Eh, udah sampai mana?” tanya Alaia sambil menguap.
            “Jembatan,” jawab Maureen asal. Ia menunjuk pilar-pilar baja yang tampak lari menjauh.
            Alaia melongok ke luar jendela. “Iya tau. Semua juga ada jembatan. Tuh di Jakarta jembatan berjubel. Dari jembatan yang bernomor sampai jembatan yang bernama. Semua ada. Lah, ini jembatan apaan?”
            Maureen menatap Alaia sambil menahan senyum. “Aku selalu kagum ama kemampuan kerja otakmu,” kata Maureen. “Setiap baru bangun tidur, kamu sudah bisa mengeluarkan kalimat lancar dari otak.” 
            “Dari mulut,” ralat Alaia. Tangan kanannya membetulkan letak rambut ikal yang tergerai hingga bahu.
            “Tapi diproses dulu di otak sebelum lewat mulut.” Maureen mengetuk-ngetuk kening. Ia  tidak mau menyerah begitu saja.
            “Jadi nama jembatannya apa?” ulang Alaia.
            Kali ini Maureen menyengir, memamerkan deretan giginya yang terikat behel plastik warna-warni. “Enggak tahu. Tadi di ujung sebelah sana, enggak ada namanya.” Maureen menunjuk ke arah belakang. “Mungkin di ujung sebelah depan ada namanya.”
            Alaia mengangguk, menatap terus ke luar jendela. Ia memincingkan mata sipitnya ketika matanya bertemu langsung dengan sinar matahari.
            “Eh, nama jembatan segitu pentingnya kah?” tanya Maureen sambil mengikat rambut lurus sepanjang bahu. Ia mengambil kertas tisu dari dalam ransel dan mengeluarkan telepon dari dalam saku celana. Maureen berdiri dan ia meletakkan telepon di atas kursi. “Titip, ya.”
            Alaia memegang pergelangan tangan Maureen. “Kalau ada petugas restoran, mau dipesankan makan?”
(gunting)          

FATAMORGANA (?)


BAB 1
            Alaia bersahabat dengan Maureen sejak mereka kos di tempat yang sama di Jakarta. Mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Alaia ceplas ceplos dan cenderung berani mengambil resiko, sedangkan Maureen selalu penuh pertimbangan. Bahkan, seringkali Maureen tidak jadi membuat satu pilihan karea sudah terlambat. Di dekat rumah kos mereka tinggal Kemal, fotografer profesional.       
Suatu kali Maureen menemani Alaia, mengunjungi teman lama Alaia yang tinggal dan kerja di Semarang. Alaia berhasil bertemu temannya, Frits, di tempat yang telah djanjikan. Alaia memperkenalkan Frits kepada Maureen dan Maureen bersikap seolah-olah belum tahu Frits. Padahal Maureen tahu banyak tentang Frits. Menurut Maureen, Frits-lah salah satu penyebab keluarga Maureen jadi berantakan. Maureen tidak mau menceritakan kejadian itu pada Alaia dan Frits. Maureen berharap suatu kali keadaan menjadi imbang, tapi ia belum tahu caranya.

Thursday, February 7, 2013

FATAMORGANA (?)


BAB 1

            Arida bersahabat dengan Titut sejak mereka kos dan kuliah di kampus yang sama di Solo. Dengan sifat yang bertolak belakang, keduanya berteman akrab. Arida ceplas ceplos dan cenderung berani mengambil resiko, sedangkan Titut selalu penuh pertimbangan. Bahkan, seringkali Titut tidak jadi membuat satu pilihan karea sudah terlambat. Keduanya senang jalan-jalan ke kota-kota kecil walaupun biaya untuk itu mengharuskan mereka hidup super hemat dengan jatah uang bulanan.


BAB 2

            Suatu kali Titut menemani Arida, mengunjungi teman SMA akrab Arida yang kuliah di Jakarta. Titut mula-mula antusias karena terakhir kali ke Jakarta sepuluh tahun lalu. Ternyata, Jakarta kini membuatnya pusing dan ingin segera kembali ke Solo. Tetapi berkat bujukan Arida, Titut mau bertahan hingga urusan Arida bertemu temannya selesai.
            Arida berhasil bertemu temannya, Frits, di tempat yang telah djanjikan. Arida memperkenalkan Frits kepada Titut dan Titut bersikap seolah-olah belum tahu Frits. Padahal Titut tahu banyak tentang Frits. Menurut Titut, Frits-lah salah satu penyebab keluarga Titut jadi berantakan, ibunya meninggalkan ia, adiknya dan bapak. Titut tidak mau menceritakan kejadian itu pada Arida dan Frits. Titut berharap suatu kali keadaan menjadi imbang, tapi ia belum tahu caranya.

Wednesday, February 6, 2013

PANTAI TIKU


            Aku melepas sandal dan menjinjingnya. Butiran pasir basah dan terasa hangat, menyelinap di antara jari-jari kaki. Angin pagi ini berhembus pelan, cukup mengayunkan daun-daun pinus yang ditanam berjejer di dekat pantai. Terbawa hembusan angin, aroma laut tercium jelas dan melapangkan jalan pernapasan.
            Suara ombak kali ini terdengar bagai kidung pilu, nada rendah yang panjang. Ombak datang silih berganti. Sesekali kudekatkan kedua telapak kaki agar air itu tidak cepat kembali ke laut. Terasa hangat. Butir-butir pasir putih tertinggal di punggung telapak kaki. Berkilauan, terkena sinar matahari.
            Empat laki-laki berkulit kelam menarik pukat. Tali tambang besar melilit pinggang dan tangan mereka terulur di depan perut, siap menarik tambang. Setiap akan bergerak, orang yang berdiri di depan berteriak ciek yang berarti satu. Lalu mereka bergerak bersamaan. Ujung jari diketukkan ke pasir sebelum mereka melangkah mundur, selangkah demi selangkah. Gerakan mereka seirama, mirip orang yang sedang menari.
            Aku berhenti di tumpukan batu karang, memilih landasan untuk duduk. Satu batu karang licin berada di bawah dan dilalui air laut. Batu karang yang di sebelah atas, kering walau tidak selicin yang di bawah. Batu karang yang atas menjadi pilihanku.
Aku menatap bayangan pohon pinus. Puncak bayangan itu menyentuh garis pantai. Hmm, pasti jam sembilan, tebakku sambil melihat arloji. Waktunya bertemu Faisal. Tepat ketika aku mengangkat kepala, seorang laki-laki muda dengan rambut keriting, muncul dari sela-sela pohon pinus. Tas kain bertali panjang menyilang dadanya. Ia berjalan lurus menuju tempatku duduk. Itukah Faisal? Anak kecil yang kutemui limabelas tahun lalu ketika aku dan tim mengadakan penelitian biota laut di sini.
Ia menghampiri dan menyalamiku penuh hormat.
“Faisal?” tanyaku sambil tersenyum.
Laki-laki itu menggeleng lemah. Ia mengeluarkan map plastik dari dalam tas kain. “Iko dokumen yang akan Faisal tunju'an ka Ibu. Rapor dari SD hingga SMA. Transkrip nilai kuliah dan ijazah. Semua lengkap di siko.” Ia menyerahkan map itu.  “Beasiswa yang Ibu berikan tidak ia sia-siakan. Ia kerja keras. Selalu juara dan lulus kuliah dengan predikat SM.”
“Mana Faisal?”
“Kemarin sore Faisal alah dikubua. Liver.”

Catatan:
iko: ini
tunju'an: tunjukkan
ka: kepada
alah: sudah
dikubua: dikubur

Tuesday, February 5, 2013

JIKA AKU JADI FATUR ABUA



            Laki-laki itu duduk dengan punggung membungkuk. Sebagian kulit kepalanya tampak jelas. Sepatu Bally cokelat yang dipakainya tampak pudar di bagian ujung, pasti karena terlalu sering terantuk. Huruf C simbol merek kaca mata terkenal sangat menonjol di gagang kaca matanya. Tapi ini model kaca mata yang ‘in’ 15 tahun silam. Celana warna krem dipadukan dengan ikat pinggang warna hitam. Jelas salah warna.
            “Intinya, laporan pemberian uang untuk pejabat itu sudah ada di meja ketika saya datang. Saya sama sekali tidak menyuruh mereka,” lanjut laki-laki itu sambil merapikan kemeja kotak-kotak cokelat dan jingga. Logo huruf H cukup mencolok di ujung lengan. Tapi warna kemejanya sudah pudar. Kemeja yang telah dicuci ratusan kali.
            Aku melirik jam tangan yang berhias selusin berlian, pemberian istri, tentunya setelah berulang kali kuminta. Hmm, sudah hampir satu jam aku mendengarkannya. Cukup. Aku berdiri dan mengambil tangannya untuk bersalaman. “Masalah tadi sudah sangat jelas,” kataku sambil memainkan smartphone, hadiah dari seorang perempuan manis yang sedang kudekati.
            Laki-laki itu berdiri dan berjalan bersama ke luar ruangan.
            “Nanti Linda yang akan menghubungi Anda.” Aku menunjuk ruang sekretaris yang berada dekat ruanganku. Lampu kristal di ruangan itu tampak terang, pertanda Linda berada di ruangan.
            “Terima kasih banyak,” kata laki-laki sambil membungkuk dalam. Jika tidak kuelakkan dengan cepat, ia pasti mencium tanganku.
            Setelah laki-laki itu ke luar ruangan, Linda muncul. “Bagaimana, Pak?” tanya Linda. 
            “Hmm.” Aku memberi tanda agar Linda mengikutiku.
            “Jadi kita ambil?” tanya Linda, berjalan bersisian. Wangi parfum yang kemarin aku berikan tercium jelas. 
            Aku duduk di belakang meja. “Catat. Segera atur pertemuan dengan Mario, Tenno dan Gaharu,” kataku menyebut nama-nama rekan baru. “Mereka semua harus belajar membedakan calon klien yang potensial dan yang tidak.”
            Linda mengangguk sambil mencatat.
            “Kamu pikir orang tadi potensial?” tanyaku dengan suara tinggi. “Bermerek sih iya, tapi barang usang semua. Bisa-bisa ia bayar aku pakai sen!”
            “Tapi kasusnya bisa melambungkan nama Bapak.”
            “Sudah tidak perlu,” kataku tersenyum penuh makna. “Toh sebentar lagi aku yang memimpin negara ini.” Aku memandang ke luar ruangan. Terbayang baliho besar yang memajang wajah rupawanku berada di sudut-sudut jalan.