BAB
1
Perjalanan ini
Maureen membuka mata ketika goyangan
kereta terasa sangat kuat. Jari-jari tangannya menghapus kotoran di kedua
matanya. Ia melirik ke sebelah kanan. Alaia masih tertidur nyenyak sambil
merangkul bantal kecil. Maureen menyibakkan kain jendela. Silau. Sinar matahari
tepat mengenai wajahnya. Ia hanya sempat melihat pilar-pilar baja memenuhi
jendela.
Maureen teringat telepon selular
yang ia matikan sebelum tidur. Ia mengambil telepon itu dari saku celana dan
menghidupkannya. Ia menunggu beberapa saat menunggu masuknya pesan-pesan yang
mungkin datang ketika telepon sedang mati. Benar saja. Ada satu pesan. Tiga
angka terakhir …888. Nomor pengirim pesan tidak ada dalam daftar teleponnya,
tapi Maureen hapal betul pemilik nomor ini.
Maureen mengalihkan pandangan ke
luar jendela. Telapak tangannya bermain-main di dagu, menunjukkan ia ragu.
Sesaat kemudian, Maureen memasukkan telepon ke dalam saku celana tanpa membaca
pesan yang masuk. Kini telapak tangannya menepuk-nepuk saku celana yang berisi
telepon.
Lengan Maureen terasa tersentuh. Ia
menoleh.
“Eh, udah sampai mana?” tanya Alaia
sambil menguap.
“Jembatan,” jawab Maureen asal. Ia
menunjuk pilar-pilar baja yang tampak lari menjauh.
Alaia melongok ke luar jendela. “Iya
tau. Semua juga ada jembatan. Tuh di Jakarta jembatan berjubel. Dari jembatan
yang bernomor sampai jembatan yang bernama. Semua ada. Lah, ini jembatan
apaan?”
Maureen menatap Alaia sambil menahan
senyum. “Aku selalu kagum ama kemampuan kerja otakmu,” kata Maureen. “Setiap
baru bangun tidur, kamu sudah bisa mengeluarkan kalimat lancar dari otak.”
“Dari mulut,” ralat Alaia. Tangan
kanannya membetulkan letak rambut ikal yang tergerai hingga bahu.
“Tapi diproses dulu di otak sebelum
lewat mulut.” Maureen mengetuk-ngetuk kening. Ia tidak mau menyerah begitu saja.
“Jadi nama jembatannya apa?” ulang
Alaia.
Kali ini Maureen menyengir,
memamerkan deretan giginya yang terikat behel plastik warna-warni. “Enggak
tahu. Tadi di ujung sebelah sana, enggak ada namanya.” Maureen menunjuk ke arah
belakang. “Mungkin di ujung sebelah depan ada namanya.”
Alaia mengangguk, menatap terus ke
luar jendela. Ia memincingkan mata sipitnya ketika matanya bertemu langsung
dengan sinar matahari.
“Eh, nama jembatan segitu pentingnya
kah?” tanya Maureen sambil mengikat rambut lurus sepanjang bahu. Ia mengambil
kertas tisu dari dalam ransel dan mengeluarkan telepon dari dalam saku celana.
Maureen berdiri dan ia meletakkan telepon di atas kursi. “Titip, ya.”
Alaia memegang pergelangan tangan
Maureen. “Kalau ada petugas restoran, mau dipesankan makan?”
(gunting)
Kereeeen....
ReplyDeleteSeperti biasa, penulis diam-diam menghanyutkan hehehe...
wooo, terima kasih. kan ngikutin jejak para pendahulu *tuink-tuink*
Deletenumpang belajar di sini ^_^
ReplyDeleteMari-mari, silakan ngetem. Kopi, tes dan kuaci ada di pojokan yak :)
Delete