Do we need to set up a team of volunteer to clean up the river? Is there a better idea?
Title: Act Now
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 23 Volume XI December 2013
Saturday, December 21, 2013
Thursday, November 21, 2013
The Lost Durian
Squirrel and Rabbit saw durian on a tree. But on the following day, the durian was gone. Who took it?
Title: The Lost Durian
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 22 Volume XI November 2013
Monday, October 21, 2013
It's Raining
Can you have fun during rainy season? Squirrel and Rabbit did an interesting activity.
Title: It's Raining
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 21 Volume XI October 2013
Title: It's Raining
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 21 Volume XI October 2013
Saturday, September 21, 2013
Where Are They?
Squirrel was busy thinking when Bee came to help him.
Title: Where Are They?Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 20 Volume XI September 2013
Monday, September 9, 2013
Umay di Sekolah Baru
“May, cepat makannya. Kita berangkat,” ajak Kak Kiki sambil berjalan ke
teras depan. Ia akan mengantar Umay karena ini hari pertama Umay sekolah di Jakarta.
Sebelumnya Umay bersekolah di Surabaya,
kota tempat bapaknya tinggal.
“Pagi amat, Kak.” Umay terus mengunyah roti selai kacang. “Tuh, langitnya masih gelap.”
“Sekolah mulai jam setengah
tujuh. Jam segini harusnya Umay sudah berangkat,” kata Ibu.
“Iya, Bu.” Umay mengunyah lebih cepat.
Dan diakhiri dengan segelas susu putih.
“Umay berangkat, Bu,” salam Umay.
“Nanti Kak
Kiki yang menjemputmu. Jangan pulang sendiri,” pesan Ibu.
“Oke, Bu,”
jawab Umay dari depan pintu.
“Sudah siap?” tanya Kak Kiki yang menunggu di teras depan.
Umay mengangguk pasti.
“Kak
Kiki anter sampai sekolah, kan?” tanya Umay.
“Iya, tapi hari ini saja. Besok
kamu pergi sendiri,” jawab Kak Kiki.
“Kalau Umay diculik, gimana Kak?” tanya Umay asal.
“Kamu teriak, lalu tendang kaki penculik di bagian sini.” Kak
Kiki menunjukkan bagian
tulang kering.
“Setelah itu, kamu lari buru-buru,” jawab Kak Kiki
serius. “Ini rumah Om Bambang. Di sini, kamu belok kiri.” Kak Kiki menunjuk ke rumah besar yang berwarna biru.
Umay tidak terlalu memperhatikan rumah Om Bambang. Ia masih
bertanya tentang proses melarikan diri dari penculik. “Kalau penculik itu marah, gimana Kak?” tanya Umay lagi.
“Diamkan saja. Pokoknya, kamu lari buru-buru.” Mereka berhenti di dekat lampu merah. “Tunggu sampai
lampu merah menyala dan mobil berhenti. Baru kamu menyeberang jalan.”
“Hmm, pagi ini kamu cerewet sekali,”
gumam Kak
Kiki.
Ia menunjuk ke arah polisi yang sedang berdiri di seberang
jalan. “Tuh ada pak polisi. Kamu bisa minta tolong dia.”
“Dikasih duit berapa,
Kak?”
“Hush! Tidak perlu. Pak polisi itu
senang membantu, kok.” Kak Kiki menjawab pertanyaan Umay dengan serius. Ia
ingin memastikan bahwa esok hari, Umay bisa berangkat ke sekolah sendiri. “Nah, sekolahmu sudah
kelihatan dari sini. Ituuu,” tunjuk Kak Kiki.
Lampu merah menyala dan kendaraan
berhenti di belakang garis zebra cross.
Beberapa penyeberang jalan juga berseragam sekolah seperti Umay.
“Besok kamu bisa menyeberang sama-sama dengan mereka. Pokoknya
tunggu sampai lampu merah menyala
dan mobil-mobil berhenti,”
ulang Kak
Kiki.
“Sekarang kamu masuk
kelas. Masih ingat kelasmu?” Kak Kiki menunjuk ruang kelas yang ada di pinggir kanan.
Cerita lengkap bisa dibaca di Majalah Bobo.
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 21 XLI 29 Agustus 2013
Wednesday, September 4, 2013
Timun Berkebun
“Pak! Pak!” teriak Bu Junaedi dari depan rumah.
Pak
Junaedi buru-buru keluar rumah sambil membetulkan letak kopiah. “Ada apa, Bu?”
“Aku
punya berita penting. Super penting,”
jawab Bu Junaedi.
“Tentang
ramuan ajaib itu?”
“Buto? Buto Hejo?” Pak Junaedi mendelik kaget. “Hah, siapa yang berani meminta ramuan dari
dia?”
“Kita,
Pak,” jawab Bu Junaedi yakin.
“Bagaimana
kalau ia menangkap kita?”
“Ah,
jangan berpikir yang seram-seram,” kata Bu Junaedi cepat. “Bayangkan kalau Buto memberi kita ramuan
ajaib.”
“Tentu
kita akan segera punya anak,” lanjut Pak Junaedi bersemangat. Mereka lalu pergi ke pondok Buto Hejo i hutan.
“Permisi,”
Pak Junaedi memberi salam di depan pondok kayu besar milik Buto Hejo.
“Ulangi,
Pak. Lebih keras,” bisik Bu Junaedi.
Sebelum mengulang salam, mereka mendengar suara langkah kaki. Tak lama menunggu, mereka
melihat Buto Hejo ke luar pondok.
“Hai,
Pak dan Bu Junaedi. Tumben datang. Ada
apa?” sapa Buto. “Silakan duduk
sini.” Buto menunjuk ke bangku yang
terbuat dari jalinan batang pohon.
“Begini,
Buto Hejo, kami mau minta ramuan ajaib agar cepat punya anak,” jawab Pak
Junaedi.
“Benar
begitu?” Buto Hejo memastikan.
Bapak
dan Ibu Junaedi mengangguk penuh semangat.
Buto
Hejo mengambil botol kecil dari dalam saku celananya dan menyerahkan botol itu
kepada Pak Junaedi. “Minum ini lima kali
sehari.”
“Hanya
itu?” tanya Bu Junaedi ragu-ragu.
“Hahahaha,”
Buto Hejo tertawa keras. “Tentu tidak,
hahaha. Nanti aku akan datang kalau
anakmu sudah besar.”
“Untuk
apa?” tanya Bu Junaedi.
“Tentu
saja untuk mengambil anakmu itu, hahaha.”
Pak
Junaedi menyikut lengan Bu Junaedi.
“Bagaimana ini?” bisiknya.
“Terima
saja ramuan itu,” jawab Bu Junaedi tegas.
“Terima
kasih, Buto Hejo.” Bapak dan Ibu Junaedi
meninggalkan pondok Buto Hejo, membawa sebotol ramuan ajaib.
***
“Timun, Timun Mas, sini,” panggil Bu
Junaedi.
Timun
Mas datang. Kringring…ring, lonceng-lonceng kecil di gelangnya berbunyi. Ia melihat ekspresi serius di muka ibu dan
bapaknya. Hmm, ada apa nih?
“Kamu
sudah besar, nak,” kata Pak Junaedi. “Jadi kami pikir kamu perlu tahu rahasia
ini.”
“Ada
apa sih? Kok aku jadi deg-degan,” kata
Timun Mas.
Cerita lengkap bisa dibaca di majalah Bobo.
Judul: Timun Berkebun
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 21 XLI 29 Agustus 2013
Monday, September 2, 2013
Bertemu Mozart
Ini hari ketiga aku berada di
Salzburg, menemani Ibu yang mengikuti kongres. Selama Ibu kongres, aku hanya
diijinkan berjalan-jalan dua blok dari hotel agar aku tidak tersesat. Aku
mengunci pintu kamar dan turun ke lobby.
Di dekat pintu ke luar, Renee menghampiriku. “Hello, Fitri.
Hari ini ke mana?” Renee satu-satunya karyawan hotel yang bisa berbahasa
Indonesia karena ibunya berasal dari Pekalongan.
“Belum tau,” jawabku jujur.
“Ingat, dua blok saja,” kata Renee.
Sejak kami menginap di sini, Renee sudah mendapat pesan dari Ibu. Dan Renee
akan mengingatkanku untuk tidak berjalan lebih dari dua blok.
Aku mengangguk. “Renee, ada tempat
lainnya yang bagus?”
Renee menyebutkan beberapa tempat
dalam radius dua blok, tetapi semua telah kudatangi.
“Yang lain?” tanyaku.
Renee mengetuk-ngetuk ujung
hidungnya yang lancip. “Well, ada.
Dan aku yakin kamu pasti suka,” jawab Renee ragu-ragu.
“Di sebelah mana?”
“Hmm, ini lebih dari dua blok.”
“Ayolah, kasih tau,” bujukku sambil
menarik ujung seragam Renee. “Dua blok sudah habis kukunjungi dalam dua hari.”
Aku memasang tampang memelas. Horeee.
Usahaku sepertinya berhasil.
Baca cerita lengkap di Majalah Bobo.
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 20 XLI 22 Agustus 2013
Sunday, August 25, 2013
Four Is Enough
Squirrel promised to bring Monkey some guavas, but Foal wanted guavas, too. What did Squirrel do?
Title: Four Is Enough
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 19 Volume XI August 2013
Friday, August 23, 2013
Kembang Api Lempar
Ari membereskan sarung yang
baru dipakainya untuk sholat taraweh.
“Ri…
Ari!”
Ari
menoleh. “Apaan?”
Fuad
berlari dari pintu mushola. “Ke
lapangan, yuk? Beli petasan,” kata Fuad
sambil menyampirkan sarung ke pundak.
Ari
mengecek koin yang ada di saku celana.
Ia menghitung jumlah uang dengan cepat sebelum menjawab, “Ayo!” Ari dan
Fuad berjalan penuh semangat menuju lapangan di dekat mushola. Dari mushola
sudah terdengar berbagai bunyi letusan petasan. Langit malam pun penuh dengan
aneka warna kembang api.
Ari
dan Fuad menghampiri penjual petasan yang duduk di dekat pohon nangka. Sebuah lilin pendek yang menyala terletak di atas
keranjangnya. “Mang, petasan putar. Dua,” kata Fuad.
Penjual itu mengangkat lilin, lalu menyibakkan lembaran
kertas koran yang menutupi isi keranjang.
Ia
mengambil dua kotak kembang api. “Petasan abis.
Sisa kembang api yang biasa.
Mau?”
“Yah… Cepet amat
abisnya, Mang,” keluh Fuad.
Baca cerita lengkap di Majalah Bobo.
Judul: Kembang Api Lempar
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 18 XLI 8 Agustus 2013
Saturday, July 27, 2013
Obat yang Enak
Sudah sebulan ini, Raja Zhorifiandi
tidak bisa buang air besar. Perut Raja
membuncit. Mukanya ditumbuhi banyak jerawat.
Mulutnya penuh sariawan.
Beberapa tabib istana menyarankan
raja supaya banyak berjalan kaki. Dengan
patuh, raja berjalan kaki keliling istana. Tetapi itu belum menyembuhkan
konstipasinya karena raja hanya berjalan kaki lima menit saja. Tabib lain membuat
ramuan obat. Tetapi raja menolak minum ramuan itu karena rasanya sangat pahit.
Paman
Patih membongkar koleksi buku di perpustakaan. Ia menemukan informasi mengenai
daun-daun yang bisa menyembuhkan penyakit raja.
Daun-daun itu tumbuh subur di pekarangan istana. Paman Patih memetik daun itu, lalu
menghidangkannya untuk raja.
“Enak
saja! Tidak. Aku tidak mau makan daun-daun
itu,” kata raja. “Aku bukan kambing.” Muka raja merah menahan geram.
Baca cerita lengkap di Majalah Bobo.
Judul: Obat yang Enak
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 15 XLI 18 Juli 2013
Majalah: BOBO 15 XLI 18 Juli 2013
Thursday, July 25, 2013
Picture in the Sky
Hamster found something amazing in the sky. He asked his friends, Squirrel and Rabbit to see it. What's that?
Title: Squirrel and Friends: Picture in the Sky
Author: Uncu Nana
Magazine: C'nS Junior Edition 18 Volume XI July 2013
Monday, July 22, 2013
Siapa Mau Anak Ayam?
Bu
Tyas duduk termenung di depan toko pakan ternak miliknya. Dalam tiga bulan ini jumlah pembeli yang
datang ke tokonya hanya lima orang.
Masing-masing mereka hanya membeli setengah kilo dedak. “Ah, kalau terus begini, toko ini akan segera
tutup...,” keluh bu Tyas.
Anak-anak
negeri Kalomolomo memang sedikit sekali yang memiliki hewan peliharaan. Mereka umumnya memelihara electronic pet, hewan mainan yang dijalankan
dengan batu baterai. Setiap dua jam,
anak-anak itu memencet tombol untuk memberi makan. Kalau terlambat, hewan itu akan mati. Dan untuk menghidupkan hewan itu kembali,
mereka cukup membeli kartu elektrik yang dijual di toko mainan.
Seorang
pejalan kaki menghampiri toko. “Permisi,
Bu...”
Bu
Tyas langsung berdiri, bersemangat.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa agar orang tersebut berbelanja di
tokonya. “Cari apa?” tanya bu Tyas
ramah.
“Bisa
tolong tunjukkan jalan menuju gedung Kaleme?”
Bu
Tyas menarik nafas panjang. “Ikuti saja
jalan ini sampai simpang empat di depan sana.
Kemudian belok kiri. Gedung
Kaleme ada di sebelah kanan jalan,” jawab bu Tyas.
“Jadi,
terus saja dan belok kiri di simpang empat?” ulang orang itu.
“Iya,
benar.”
“Terima
kasih, Bu...” Dan orang itu meneruskan
perjalanan menuju gedung Kaleme.
Bu
Tyas melongok ke ujung jalan di kiri dan kanan.
Sepi. Tidak banyak orang yang
melintas di jalan itu. Bu Tyas akhirnya
memutuskan untuk menutup toko dan pergi berjalan-jalan. Ia tidak punya tujuan yang jelas. Ia hanya perlu berjalan kaki untuk
berpikir. Memang aneh. Tetapi itulah kebiasaan bu Tyas. Ia berpikir sambil berjalan kaki.
Sepasang
ayam sedang membongkar timbunan sampah.
Mereka menggali cukup dalam.
“Pasti mereka mencari cacing untuk menu makan siang kali ini,” pikir bu
Tyas.
Di
tempat terpisah, ada seekor induk ayam yang sedang memimpin enam
anaknya. Induk ayam itu marah ketika bu
Tyas hendak mengambil seekor anak ayam yang berwarna kuning. Bu Tyas mengurungkan niat. Ia membiarkan induk dan anak ayam itu
berlalu. Lucu sekali. Anak-anak itu berjalan beriringan di belakang
induk ayam. “A ha!” teriak bu Tyas. Tiba-tiba ia mendapat ide cemerlang.
Bu
Tyas bergegas pergi ke peternakan ayam milik bu Fitri.
“Maaf,
stok pakan ternak saya masih banyak,” kata bu Fitri ketika melihat bu Tyas
datang.
Bu
Tyas tersenyum kecil. “Saya bukan mau menawarkan
pakan. Tetapi mau membeli anak ayam,”
kata bu Tyas.
“Oh,
sebenarnya saya hanya menjual ayam dewasa.
Tetapi untuk bu Tyas, bolehlah....
Mari..., mari..., silakan pilih,” kata bu Fitri cepat. Ia menunjukkan kardus yang berisi anak
ayam. Semua berwarna kuning. “Lihat, mereka sehat-sehat. Bu Tyas perlu berapa ekor?”
Setelah
mencocokkan harga anak ayam dengan jumlah uang yang dipunya, bu Tyas menjawab,
“Seratus ekor saja.”
Bu
Fitri memasukkan seratus lima ekor dalam sepuluh kantong semen. “Lima ekor sebagai bonus,” kata bu Fitri
sambil menerima uang pembelian.
Bu
Tyas tidak langsung pulang atau menuju tokonya.
Ia berjalan memutar, menuju sekolah dasar terbesar yang ada di negeri
Kalomolomo. Pada saat itu, jam pelajaran
baru saja usai. Dengan sigap, bu Tyas
membagi-bagikan anak-anak ayam ke anak sekolah.
Mereka senang menerima anak ayam lucu.
Bu
Tyas kini berjalan menuju tokonya sambil membawa limabelas anak ayam sisa. Ternyata di muka toko sudah menunggu pak
Gandi.
“Hai,
pak Gandi. Perlu apa nih?” tanya bu
Tyas.
“Saya
mau beli pakan ikan lele. Setengah kilo
saja,” jawab pak Gandi.
Bu
Tyas menimbang setengah kilo pakan ikan lele dan memasukkannya ke dalam tas
plastik. “Ini saya kasih hadiah satu
anak ayam lucu.” Bu Tyas menyerahkan
pakan ikan lele dan satu ekor anak ayam kepada pak Gandi.
Pak
Gandi menyerahkan uang. “Wah, terima
kasih. Saya dengar toko ini sepi. Malah ada yang bilang toko ini sebentar lagi
akan tutup. Tetapi bu Tyas malah
bagi-bagi hadiah lucu. Terima kasih
banyak, bu Tyas.”
Bu
Tyas memindahkan sisa anak ayam ke dalam kardus supaya anak ayam itu bisa
bernafas lebih baik. Ia tidak lupa
meletakkan dedak di dalam kardus.
“Bu
Tyas...,” panggil Bu Laela. “Punya
makanan untuk anak ayam? Beli setengah
kilo.”
“Sebentar,
saya ambilkan,” kata bu Tyas. Ia
menimbang setengah kilo dedak dan memasukkan seekor anak ayam sebagai
bonus.
“Ah,
terima kasih. Tadi anak saya pulang
membawa seekor anak ayam. Jadi anak ayam
yang di rumah akan ada temannya,” kata bu Laela tersenyum.
Baru
saja bu Laela pergi, sekitar delapan puluh orang datang silih berganti. Mereka datang untuk keperluan yang sama,
membeli makanan untuk anak ayam. Sejak
itu toko pakan milik bu Tyas kembali ramai didatangi orang. Mulanya mereka mencari makanan untuk anak
ayam, tetapi lambat laun, mereka mencari makanan untuk ayam dewasa.
Dan
toko pakan milik bu Tyas menjadi yang terbesar di negeri Kalomo setelah ia
menjalin kerjasama dengan bu Fitri dalam penyediaan anak ayam.
Judul: Siapa Mau Anak Ayam?
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012
Saturday, July 20, 2013
Sungguh, Ada Sepuluh
Driyo melepas sandal jepit di depan
teras rumah Hengky, juragan burung yang kaya. Driyo berjingkat-jingkat, takut mengotori
lantai rumah. Dua meter sebelum sampai
di pintu, langkah Driyo terhenti. Pintu terbuka.
Hengky berdiri di depan pintu. “Mau apa?”
“Eh, itu…,” jawab Driyo takut-takut.
“Sana , lewat pintu belakang!” Hengky langsung menutup pintu depan.
Driyo berjalan mundur dan buru-buru
mengenakan kembali sandal jepit.
Setengah berlari ia menuju pintu belakang, melewati berpuluh-puluh
kandang burung.
Hengky sudah menunggu di dekat pintu
belakang. Kedua tangganya diletakkan di pinggang. “Mau apa sore-sore ke sini?”
“Eh, mau minta tolong.”
“Pinjam uang? Kapan mau dibayar?” Hengky mencibir.
“Oh, bukan, bukan,” jawab Driyo
cepat. “Beri saya pekerjaan. Saya perlu uang.” Suara
Driyo memelas. Tentu saja. Kebun
tomat miliknya mati karena hujan sudah lama tidak turun. Saat ini ia tidak punya uang untuk beli
makan.
“Hmm…” Mata
Hengky berkilat licik. Ia langsung
menyusun rencana. “Oke. Ikuti saya!”
Hengky menuju ke satu kandang yang terpisah jauh dari kandang-kandang
lainnya. “Hitung burung itu.” Hengky menunjuk ke burung-burung yang tampak
lemah.
“Sepuluh.”
“Betul,” kata Hengky. “Besok saya akan ke Depok. Jadi, kamu pelihara sepuluh burung itu besok. Pagi sampai sore.”
Driyo mengangguk-angguk. “Hmm, saya boleh minta upah di muka?” tanya
Driyo pelan. Ia tidak berani menatap
wajah Hengky.
“Ha ha ha! Aku tidak bodoh. Pasti kamu mau kabur dengan uang itu. Hahahaha…”
“Eh, bukan begitu…,” jawab
Driyo. “Saya lapar. Mau beli makanan.” Suaranya memelas.
“Upahmu dibayar besok. Limapuluh ribu,” jelas Hengky. “Tapi kalau jumlah burung itu berkurang,
upahmu dipotong. Sepuluh ribu untuk satu
burung yang hilang. Jelas?”
Muka Driyo berbinar, membayangkan
upah yang akan diterimanya esok. “Jelas…
jelas.”
“Ingat,
ketika saya kembali, di dalam kandang harus ada sepuluh burung,” Hengky
menegaskan.
Driyo mengangguk. Ya
iyalah, burung-burung itu tidak akan dijual…pikir Driyo.
Pagi-pagi sekali Driyo sudah berada
di dekat kandang burung. Ia membersihkan
kandang dan mengisi tempat makan dan minum.
Driyo mengambil enam ekor burung yang tampak lemas sekali. Ia menyendokkan air ke sela-sela paruh secara
bergantian. Burung-burung itu menggoyangkan kepala,
ucapkan terima kasih. Tetapi badan
mereka tetap saja lemas.
Siang hari, Driyo datang untuk
menambah makanan burung. Enam ekor burung
yang tadi dibantu minum, terbaring di dasar kandang. Mereka mati.
Driyo memperhatikan empat burung
lainnya. Mereka juga tampak lemas, tidak
memiliki tenaga untuk mengepakkan sayap.
Pasti mereka akan menyusul teman-temannya. Harus
cari obat, nih…, pikir Driyo.
Driyo mengumpulkan beberapa macam
daun yang berkhasiat mengobati burung yang lemas. Daun-daun itu dihancurkan dan dicampur dengan
air.
Tetapi Driyo terlambat sampai di kandang
burung. Sangat terlambat. Empat burung yang tadi lemas, sekarang mati.
Driyo memandang lemas kandang yang
kini berisi sepuluh bangkai burung. Bagaimana ini? Driyo duduk lemas di depan kandang burung,
hingga tidak mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
“Hah? Kenapa mati semua?” jerit Hengky.
Driyo menjelaskan kejadian yang
menimpa burung-burung itu.
Tetapi Hengky tidak mau mengerti.
“Kau harus
menggantinya!” kata Hengky ketus.
“Sepuluh ribu dikali sepuluh burung.
Total seratus ribu.”
“Darimana
saya punya uang sebanyak itu,” jelas Driyo.
“Lagipula burung ini sudah lemas ketika saya datang.”
“Tidak
mau tahu! Pokoknya, kamu harus ganti
seratus ribu.”
“Saya
enggak punya uang.”
Hengky
tidak habis akal. “Ayo, ikut! Kita ke Pak Kades, biar kamu dipenjara!”
“Jangan.
Saya minta maaf.” Tangan Driyo ditarik
Hengky menuju kantor Kepala Desa.
“Main
apa ini? Kok saya enggak diajak?” tanya
Pak Kades. Ia tersenyum melihat Driyo yang ditarik-tarik Hengky.
“Penjarakan dia, Pak Kades.”
Hengky menunjuk Driyo. “Dia
enggak mau bayar.”
“Jangan
buru-buru masuk penjara. Jelaskan dulu,” kata Pak Kades.
Dengan
berapi-api, Hengky menjelaskan semuanya.
Pak
Kades menatap Driyo. “Kamu diupah jaga
burung. Kenapa burungnya bisa sampai
mati?” Tanpa menunggu jawaban Driyo, Pak
Kades menoleh ke Hengky. “Apa
pesanmu sebelum pergi? Ketika kamu pulang, harus ada
sepuluh burung di dalam kandang. Betul?”
“Betul,
Pak Kades.”
“Di mana
burung-burung yang mati itu?” tanya Pak Kades.
“Masih
di sana. Di kandang,” jawab Driyo.
“Jadi sekarang ada sepuluh burung di dalam
kandang. Betul?” tanya Pak Kades kepada Hengky.
“Be… Betul,” jawab Hengky ragu.
“Sekarang
jelas. Driyo tidak perlu membayar ganti
rugi. Tapi Hengky harus membayar upah
Driyo.” Senyum Pak Kades semakin lebar. Senyum keberhasilan mengatasi kelicikan
Hengky. “Tunggu apa lagi? Ayo bayar upah Driyo!”
Dengan muka masam, Hengky terpaksa membuka dompet, lalu memberikan
upah Driyo.
Judul: Sungguh, Ada Sepuluh
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 13 XLI 4 Juli 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)