Monday, January 19, 2015

SEBLAK MODIF

Setiap kali berada di kompleks Margahayu, saya lihat tulisan "Menjual Seblak". Rasa penasaran muncul baru sebatas untuk mengetahui jenis makanan itu, tapi belum sampai pada taraf ingin membeli dan mencicipi makanan yang bernama sungguh sederhana: seblak. Kalau diulang-ulang seperti 'jatuh ke jeblak.' Liburan awal tahun ini, Adek menghangatkan kembali keingintahuan tentang seblak dengan bercerita mengenai penjual seblak yang ada di sekolahnya. "Bisa pakai telur. Enak, Uncu."
Belum lagi berkesempatan meng-google resep seblak, Mba Irma memposting foto seblak ceker yang dia masak. Satu komentar saja, membuatnya menuliskan resep seblak. Sayangnya, saat itu saya dalam perjalanan ke Batu, sehinga resep seblak harus diamankan untuk nantinya dicoba setelah balik ke Jakarta.
Kemarin menjadi hari eksekusi yang tepat. Hampir semua bahan tersedia. Setelah baca ulang resep mba Irma, saya memutuskan untuk melakukan modifikasi. Pertama, saya tidak suka ceker. Kedua, saya kurang suka kencur. Ketiga, saya melihat tidak perlu penggunaan MSG di masakan ini. Keempat, cengek domba diganti cengek jerapah (baca: cabe keriting). Rencana modifikasi tersusun di benak. Uji coba pun difokuskan untuk satu porsi saja.

Bahan:
20 kerupuk kering (yang belum digoreng) Udang Finna
Ikan & Udang
Irisan bawang merah & putih
Cabe giling
Air 400 cc
Garam & gula
Jahe
Mentega

Cara Membuat:
Rebus air, masukkan kulit udang. Tunggu hingga mendidih. Sisihkan sebagai air kaldu.
Lelehkan mentega. Tumis bawang merah, bawang putih dan cabe giling.
Masukkan air kaldu dan jahe ke dalam tumisan bawang. Tunggu hingga mendidih.
Masukkan kerupuk hingga empuk. Tambahkan ikan dan udang.
Masukkan garam dan gula secukupnya.
Sajikan untuk satu porsi :)

Ternyata, saya suka rasanya. Gurih pol! Eh, sekali lagi dituliskan, saya belum pernah coba rasa seblak yang sebenarnya.
Vera, teman yang berasal dari dunia persilatan seblak memberi masukan bahwa ciri khas  seblak dari rasa kencur.
Walah! Jadi kalau makanan ini tidak pakai kencur, mungkin tidak pantas lagi disebut seblak. Hehehe. Mari mencari nama baru...

Wednesday, January 14, 2015

SQUIRREL AND FRIENDS

Bermula dari tahun 2012 ketika editor majalah C'nS Junior menanyakan kesediaan untuk menulis naskah komik. Diskusi yang terjadi selanjutnya begitu ringan. Walau fabel ditentukan oleh pihak majalah, saya mendapat kesempatan memilih tema dan tokoh. Pilihan tema pertama naik (sudah terlalu mainstream menggunakan kata jatuh) pada hubungan pertemanan. Tema itu disetujui setelah mendapat penjelasan mengenai bentuk hubungan pertemanan yang saya maksud. Tentu saja enggak akan muncul kisah pergalauan yang bisa mempertebal ketombe dan memutihkan panu. Selanjutnya, saya menentukan tokoh untuk komik tersebut. Saya langsung teringat tupai. Pernah sekali waktu menyaksikan lima tupai yang sedang kejar-kejaran di dahan mangga di Batu Lawang, daerah perkebunan di Banjar. Saking banyaknya tupai di pohon mangga itu, saya sempat berharap menemukan kerajaan tupai di situ.

Tiga naskah dan panduan ilustrasi dikirim. Hanya dalam hitungan hari, editor memberi komentar atas naskah tersebut. Baik, naskah tersebut diperbaiki. Selang beberapa minggu saya dikirimi contoh ilustrasi. Wow! Penggambaran setiap tokoh jauh lebih baik dari yang saya bayangkan. Komentar saya kala itu: SUKA. Emang gambarnya bagus. Tokohnya dibuat ginuk-ginuk.

Majalah C'nS Junior edisi February 2012 menjadi awal munculnya cerita Squirrel and Friends. Sejak itu, cerita ini terbit di setiap edisi (sekali tidak terbit karena adanya keterlambatan proses). Sejak itu pula, ilustrasi naskah dikerjakan oleh Adit Galih, yang karyanya juga mempercantik buku-buku terbitan luar negeri.


Terima kasih banyak atas kesempatan menulis naskah dan bantuan ilustrator, staf editor yang memperganteng naskah ini. Kini Squirrel and Friends memasuki tahun kelima. Semoga disukai pembaca. :)
 

Tuesday, January 6, 2015

TADULAKO BULILI (Sulawesi Tengah)


            Ketenangan desa Bulili, Sulawesi Tengah mendadak terusik. Beberapa laki-laki berbadan tegap dengan suara langkah yang dapat memecahkan gendang telinga, masuk ke desa. Mereka memakai seragam istana. Tujuan mereka hanya satu—mencari rumah Moro.
            Penduduk desa yang ramah mengantarkan lelaki berseragam itu hingga depan rumah Moro.
            Kedua orang tua Moro menyambut tamu berseragam itu dengan ramah. “Silakan masuk.”
            Satu persatu, tamu itu masuk ke dalam rumah Moro dan duduk berbaris, mirip ujung sisir. “Kami utusan Raja Sigi,” kata ketua utusan raja memperkenalkan diri. “Kami datang ke sini membawa amanat mulia dari raja.”
            Orang tua Moro saling berpandangan.
            Tanpa menunggu lama, ketua utusan raja melanjutkan, “Raja Sigi ingin melamar Moro.”
            Kali ini orang tua Moro terlonjak kaget. Untung saja kepala mereka belum sampai membentur langit-langit rumah. “Eh, melamar, Pah?” bisik ibunya Moro sambil mencolek suaminya. “Tapi kan enggak bisa begitu saja, Pah,”
            “Iya, Mah,” bisik bapaknya Moro. Ia membetulkan posisi duduknya. “Mau melamar Moro?” tanyanya kepada ketua utusan.
            Seluruh utusan raja mengangguk dan mengucapkan kalimat secara bersamaan. “Raja Sigi ingin melamar Moro. Titik.”
            “Hmm, hmm.” Suara bapaknya Moro terdengar penuh wibawa. “Kami harus bahas lamaran ini dengan Tadulako Bulili. Mohon tunggu sebentar.”
           
Desa Bulili memiliki panglima perang yang disebut juga tadulako. Mereka terdiri dari tiga orang, Bantaili, Makeku dan Molove. Ketiganya bertugas menjaga keamanan desa.
            Setelah dijemput oleh kerabat, tiga tadulako tiba di rumah Moro. Mereka segera terlibat dalam diskusi mengenai lamaran Raja Sigi. Diskusi berjalan lancar dan mereka sepakat menerima lamaran Raja Sigi.
            Kabar bahagia ini segera disampaikan kepada Raja Sigi. Acara pernikahan disusun sempurna. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Penduduk desa Bulili mendoakan kebahagiaan Moro dan Raja Sigi. Sejak saat itu, Raja Sigi menetap di desa Bulili.
            Sayangnya, setelah beberapa bulan menikah, Raja Sigi dan Moro menghadapi masalah. Mereka sering berbeda pendapat. Raja Sigi memutuskan kembali ke istana Sigi. Moro yang sedang hamil, menetap di desa Bulili.
            Mengetahui kepergian Raja Sigi, tadulako segera menghubungi Moro. “Ada apa, Moro?” tanya tandulako.
            Moro menjelaskan masalah yang dihadapi. Suaminya sudah lama pergi dan belum kembali. Moro juga mengkhawatirkan makanan untuk bayi laki-laki yang baru dilahirkannya.
            Akhirnya tadulako Bantaili dan Makeku pergi ke istana untuk menemui Raja Sigi.
            “Hey, kenapa ke sini?” tanya Raja Sigi dengan tangan di pinggang.
            Tadulako Bantaili dan Makeku kaget melihat perubahan sikap Raja Sigi yang menjadi kasar. “Ada berita seru. Bayi Baginda sudah lahir. Lucu. Sehat. Pipinya warna merah jambu,” kata Bantaili.
            “Oke. Sekarang kalian boleh pergi!” Raja Sigi membalikkan badan.
            “Oh, masa gitu aja, Baginda?” tanya Bantaili. “Kami butuh lumbung padi untuk bayi Baginda.”
            “Hahaha.” Raja Sigi tertawa sambil memegang perutnya. “Enggak mungkinnn. Kalian pikir aku bodoh? Pasti lumbung padi itu untuk penduduk Bulili yang sedang kelaparan.”
            “Suwer, Baginda.” Makeku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. “Lumbung padi itu untuk bayi Baginda.”
            “Huh, angkat saja lumbung padi di belakang istana.” Raja Sigi tersenyum sinis. “Pasti mereka enggak kuat angkat lumbung raksasa dan penuh padi itu,” gumam Raja Sigi.
            Kedua tadulako Bulili langsung menuju halaman belakang. Sambil berkonsentrasi, Bantaili menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tenaga. Dengan sekali hentakan, ia  dapat mengangkat lumbung padi itu dan membawanya pergi. Makeku mengikutinya dari belakang.
            Melihat hal itu, Raja Sigi kaget dan segera memanggil pengawalnya. “Pengawalll! Kejar mereka!” Perintah Raja Sigi menggelegar.
            Bantaili dan Makeku mempercepat langkah. Di tepi sungai, Bantaili menguatkan pegangan pada lumbung padi. Bantaili dan Makeku mengambil ancang-ancang sebelum melompati sungai.
            “Satu… dua… tigaaa!”
Mereka berhasil melompat ke seberang sungai, bahkan tidak ada satu butir padi yang jatuh dari lumbung. Keduanya memang hebat, pantas mendapat empat jempol.
            Pengawal raja gagal melompati sungai dan kembali ke istana Sigi.
            Suatu hari tadulako Bulili mendapat undangan dari raja Sigi. Jamuan makan itu diadakan di lokasi yang jauh dari desa Bulili. Ketiga tadulako datang bersamaan dan duduk di samping Raja Sigi.
            Ketika jamuan makan berlangsung, Makeku tampak merenung sehingga Bantaili dan Molove mendatanginya.
            “Kenapa?” tanya Bantaili.
            “Rasanya ada yang enggak beres,” bisik Makeku. “Pulang aja yuk?”
      Ketiga tadulako segera kembali ke desa Bulili dan melihat pengawal istana Sigi sedang membakar desa Bulili. Pengawal lainnya sedang menggiring penduduk desa Bulili ke Sigi.
Ketiga tadulako bekerja sama melawan pengawal dan menghentikan kobaran api. Mereka juga membawa penduduk kembali ke desa Bulili. Sejak itu Raja Sigi tidak lagi berani mengganggu desa Bulili.

*diceritakan kembali

Monday, January 5, 2015

Teman dan Teman



Media sosial menghubungkan kembali silaturahim dengan teman-teman lama. Teman-teman saat sekolah dulu, teman jalan dan teman main. Pertemuan demi pertemuan terjadi.

Satu teman secara berapi-api menceritakan bisnis yang digeluti dan berupaya mengajak teman-teman lain masuk ke dalam lingkaran bisnisnya. Satu teman secara teliti mengomentari hal-hal yang perlu diperbaiki dari teman-teman lain dengan caranya yang sering membuat hati, mata dan telinga kecut. Satu teman dengan gayanya yang khas berbagi pengalaman hidupnya yang terbayangkan seperti maenan putaran untuk hamster-putar terus, enggak pakai jeda. Satu teman berbagi kisah sukses keluarganya. Satu teman secara aktif mendorong teman-teman lain bercerita tentang keberhasilan mereka. Multiragam.

Tidak sedikit pula teman yang mengusulkan pendirian usaha bersama, seperti koperasi, bahkan sudah mulai menentukan fungsi masing-masing. Tanggapan saya saat itu jelas, walau membuat beberapa teman mengerutkan jidat. Iya, saya katakan akan ambil bagian di fungsi/bidang rohani. Pertanyaan-pertanyaan gencar tersembur: "Apa tugasnya rohani itu?" "Sejak kapan ada fungsi seperti itu?" Tugasnya jelas. Mengaamiinkan dengan tulus segala rencana baik.

Di antara hiruk pikuk itu, ada juga pertemuan yang mengingatkan tentang kekonyolan masa lalu dan yang memberi kesempatan untuk menjelaskan kejadian kala itu, seperti tukaran nama (Erna dan Eka) kala dipanggil guru olah raga. Menyemburkan minuman di mulut ke teman yang super-duper menjengkelkan. Ups!


Selanjutnya ada pertemuan dengan teman-teman baru
yang terjalin berkat  media sosial ini. Pertemuan yang terjadi pun cukup intens karena terkait suatu proyek (baca: usaha).

Pertemanan yang akrab dengan satu kelompok bisa sedikit melonggarkan hubungan dengan teman lainnya. Maafkan. :( Ini terjadi semata-mata karena kurang pandai menjaga keseimbangan.

Lalu, apa artinya?
Teman yang datang dan menetap.
Teman yang datang dan pergi.
Namun keduanya meninggalkan warna indah pada perjalanan hidup. They are as precious as gold.

Bagian berat dari suatu pertemuan adalah ketika kita mengucapkan salam perpisahan, tanpa bisa mengucapkan salam pertemuan kembali.

Thursday, January 1, 2015

KUDUS: RM Sari Rasa

Saya dan Tari, teman jalan di Kudus, datang ke rumah makan yang terletak di Jalan Agil Kusumadya no. 20 ini ketika jam makan siang telah lewat. Pelayan masih sibuk membereskan meja yang bekan digunakan tamu sebelumnya. sisa makanan berceceran tidak hanya di meja tapi juga di lantai. Agak-agak gimana melihat pemandangan seperti itu.


Ruangan yang besar tanpa penyekat, memudahkan tamu memanggil pelayan dan segera melihat ketika pesanan datang. Saat itu, garang asem daging ayam incaran kami habis, yang tersisa jerohan. Selain garang asem, rumah makan ini juga menyediakan menu lainnya, seperti tahu telur, soto ayam dan ayam goreng.

Pesanan datang dalam keadaan terbungkus daun pisang, mengepul dan aroma segar tercium jelas. Satu bungkus garang asem ini berukuran besar untuk dinikmati oleh satu orang. Isinya padat, jerohan ayam, potongan tomat muda dan rawit. Kuahnya bening, ada rasa asam dan pedas. Benar-benar menyegarkan. Cocok dimakan di kala cuaca panas atau dingin.


Selagi kami makan, di meja sebelah ada tamu yang baru datang. Mereka memesan garang asem daging ayam dan mendapatkannya. Ternyata, ketika menu dinyatakan habis, itu artinya menu tersebut masih dalam proses pemasakan, belum siap untuk disajikan. Dan tamu bisa saja menunggu. Lain kali, lain kali :D