Saturday, July 27, 2013

Obat yang Enak



Sudah sebulan ini, Raja Zhorifiandi tidak bisa buang air besar.  Perut Raja membuncit. Mukanya ditumbuhi banyak jerawat.  Mulutnya penuh sariawan. 
Beberapa tabib istana menyarankan raja supaya banyak berjalan kaki.  Dengan patuh, raja berjalan kaki keliling istana. Tetapi itu belum menyembuhkan konstipasinya karena raja hanya berjalan kaki lima menit saja. Tabib lain membuat ramuan obat. Tetapi raja menolak minum ramuan itu karena rasanya sangat pahit. 
            Paman Patih membongkar koleksi buku di perpustakaan. Ia menemukan informasi mengenai daun-daun yang bisa menyembuhkan penyakit raja.  Daun-daun itu tumbuh subur di pekarangan istana.  Paman Patih memetik daun itu, lalu menghidangkannya untuk raja.
            “Enak saja! Tidak.  Aku tidak mau makan daun-daun itu,” kata raja.  “Aku bukan kambing.”  Muka raja merah menahan geram.      
Baca cerita lengkap di Majalah Bobo.

Judul: Obat yang Enak
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 15 XLI 18 Juli 2013


Thursday, July 25, 2013

Picture in the Sky


Hamster found something amazing in the sky. He asked his friends, Squirrel and Rabbit to see it. What's that?

Title: Squirrel and Friends: Picture in the Sky
Author: Uncu Nana
 Magazine: C'nS Junior Edition 18 Volume XI July 2013

Monday, July 22, 2013

Siapa Mau Anak Ayam?


            Bu Tyas duduk termenung di depan toko pakan ternak miliknya.  Dalam tiga bulan ini jumlah pembeli yang datang ke tokonya hanya lima orang.  Masing-masing mereka hanya membeli setengah kilo dedak. “Ah, kalau terus begini, toko ini akan segera tutup...,” keluh bu Tyas. 
            Anak-anak negeri Kalomolomo memang sedikit sekali yang memiliki hewan peliharaan.  Mereka umumnya memelihara electronic pet, hewan mainan yang dijalankan dengan batu baterai.  Setiap dua jam, anak-anak itu memencet tombol untuk memberi makan.  Kalau terlambat, hewan itu akan mati.  Dan untuk menghidupkan hewan itu kembali, mereka cukup membeli kartu elektrik yang dijual di toko mainan.        
            Seorang pejalan kaki menghampiri toko.  “Permisi, Bu...”
            Bu Tyas langsung berdiri, bersemangat.  Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa agar orang tersebut berbelanja di tokonya.  “Cari apa?” tanya bu Tyas ramah.
            “Bisa tolong tunjukkan jalan menuju gedung Kaleme?”
            Bu Tyas menarik nafas panjang.  “Ikuti saja jalan ini sampai simpang empat di depan sana.  Kemudian belok kiri.  Gedung Kaleme ada di sebelah kanan jalan,” jawab bu Tyas.
            “Jadi, terus saja dan belok kiri di simpang empat?” ulang orang itu.
            “Iya, benar.”
            “Terima kasih, Bu...”  Dan orang itu meneruskan perjalanan menuju gedung Kaleme.
            Bu Tyas melongok ke ujung jalan di kiri dan kanan.  Sepi.  Tidak banyak orang yang melintas di jalan itu.  Bu Tyas akhirnya memutuskan untuk menutup toko dan pergi berjalan-jalan.  Ia tidak punya tujuan yang jelas.  Ia hanya perlu berjalan kaki untuk berpikir.  Memang aneh.  Tetapi itulah kebiasaan bu Tyas.  Ia berpikir sambil berjalan kaki.  
            Sepasang ayam sedang membongkar timbunan sampah.  Mereka menggali cukup dalam.  “Pasti mereka mencari cacing untuk menu makan siang kali ini,” pikir bu Tyas.
            Di tempat terpisah, ada seekor induk ayam yang sedang memimpin enam anaknya.  Induk ayam itu marah ketika bu Tyas hendak mengambil seekor anak ayam yang berwarna kuning.  Bu Tyas mengurungkan niat.  Ia membiarkan induk dan anak ayam itu berlalu.  Lucu sekali.  Anak-anak itu berjalan beriringan di belakang induk ayam.  “A ha!” teriak bu Tyas.  Tiba-tiba ia mendapat ide cemerlang.
            Bu Tyas bergegas pergi ke peternakan ayam milik bu Fitri. 
            “Maaf, stok pakan ternak saya masih banyak,” kata bu Fitri ketika melihat bu Tyas datang.
            Bu Tyas tersenyum kecil.  “Saya bukan mau menawarkan pakan.  Tetapi mau membeli anak ayam,” kata bu Tyas.
            “Oh, sebenarnya saya hanya menjual ayam dewasa.  Tetapi untuk bu Tyas, bolehlah....  Mari..., mari..., silakan pilih,” kata bu Fitri cepat.  Ia menunjukkan kardus yang berisi anak ayam.  Semua berwarna kuning.  “Lihat, mereka sehat-sehat.  Bu Tyas perlu berapa ekor?”
            Setelah mencocokkan harga anak ayam dengan jumlah uang yang dipunya, bu Tyas menjawab, “Seratus ekor saja.”
            Bu Fitri memasukkan seratus lima ekor dalam sepuluh kantong semen.  “Lima ekor sebagai bonus,” kata bu Fitri sambil menerima uang pembelian.
            Bu Tyas tidak langsung pulang atau menuju tokonya.  Ia berjalan memutar, menuju sekolah dasar terbesar yang ada di negeri Kalomolomo.  Pada saat itu, jam pelajaran baru saja usai.  Dengan sigap, bu Tyas membagi-bagikan anak-anak ayam ke anak sekolah.  Mereka senang menerima anak ayam lucu.   
            Bu Tyas kini berjalan menuju tokonya sambil membawa limabelas anak ayam sisa.  Ternyata di muka toko sudah menunggu pak Gandi.
            “Hai, pak Gandi.  Perlu apa nih?” tanya bu Tyas.
            “Saya mau beli pakan ikan lele.  Setengah kilo saja,” jawab pak Gandi.
            Bu Tyas menimbang setengah kilo pakan ikan lele dan memasukkannya ke dalam tas plastik.  “Ini saya kasih hadiah satu anak ayam lucu.”  Bu Tyas menyerahkan pakan ikan lele dan satu ekor anak ayam kepada pak Gandi. 
            Pak Gandi menyerahkan uang.  “Wah, terima kasih.  Saya dengar toko ini sepi.  Malah ada yang bilang toko ini sebentar lagi akan tutup.  Tetapi bu Tyas malah bagi-bagi hadiah lucu.  Terima kasih banyak, bu Tyas.”
            Bu Tyas memindahkan sisa anak ayam ke dalam kardus supaya anak ayam itu bisa bernafas lebih baik.  Ia tidak lupa meletakkan dedak di dalam kardus.
            “Bu Tyas...,” panggil Bu Laela.  “Punya makanan untuk anak ayam?  Beli setengah kilo.”
            “Sebentar, saya ambilkan,” kata bu Tyas.  Ia menimbang setengah kilo dedak dan memasukkan seekor anak ayam sebagai bonus. 
            “Ah, terima kasih.  Tadi anak saya pulang membawa seekor anak ayam.  Jadi anak ayam yang di rumah akan ada temannya,” kata bu Laela tersenyum. 
            Baru saja bu Laela pergi, sekitar delapan puluh orang datang silih berganti.  Mereka datang untuk keperluan yang sama, membeli makanan untuk anak ayam.  Sejak itu toko pakan milik bu Tyas kembali ramai didatangi orang.  Mulanya mereka mencari makanan untuk anak ayam, tetapi lambat laun, mereka mencari makanan untuk ayam dewasa.
            Dan toko pakan milik bu Tyas menjadi yang terbesar di negeri Kalomo setelah ia menjalin kerjasama dengan bu Fitri dalam penyediaan anak ayam. 


Judul: Siapa Mau Anak Ayam?
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012


Saturday, July 20, 2013

Sungguh, Ada Sepuluh


            Driyo melepas sandal jepit di depan teras rumah Hengky, juragan burung yang kaya.  Driyo berjingkat-jingkat, takut mengotori lantai rumah.  Dua meter sebelum sampai di pintu, langkah Driyo terhenti.  Pintu terbuka.
            Hengky berdiri di depan pintu.  “Mau apa?”
            “Eh, itu…,” jawab Driyo takut-takut.
            Sana, lewat pintu belakang!”  Hengky langsung menutup pintu depan.
            Driyo berjalan mundur dan buru-buru mengenakan kembali sandal jepit.  Setengah berlari ia menuju pintu belakang, melewati berpuluh-puluh kandang burung.
            Hengky sudah menunggu di dekat pintu belakang.  Kedua tangganya diletakkan di pinggang.  “Mau apa sore-sore ke sini?”
            “Eh, mau minta tolong.” 
            “Pinjam uang?  Kapan mau dibayar?”  Hengky mencibir.
            “Oh, bukan, bukan,” jawab Driyo cepat.  “Beri saya pekerjaan.  Saya perlu uang.”  Suara Driyo memelas.  Tentu saja.  Kebun tomat miliknya mati karena hujan sudah lama tidak turun.  Saat ini ia tidak punya uang untuk beli makan.
            “Hmm…”  Mata Hengky berkilat licik.  Ia langsung menyusun rencana.  “Oke.  Ikuti saya!”  Hengky menuju ke satu kandang yang terpisah jauh dari kandang-kandang lainnya.  “Hitung burung itu.”  Hengky menunjuk ke burung-burung yang tampak lemah.
            “Sepuluh.”
            “Betul,” kata Hengky.  “Besok saya akan ke Depok.  Jadi, kamu pelihara sepuluh burung itu besok.  Pagi sampai sore.”
            Driyo mengangguk-angguk.  “Hmm, saya boleh minta upah di muka?” tanya Driyo pelan.  Ia tidak berani menatap wajah Hengky.
            “Ha ha ha! Aku tidak bodoh.  Pasti kamu mau kabur dengan uang itu.  Hahahaha…”
            “Eh, bukan begitu…,” jawab Driyo.  “Saya lapar.  Mau beli makanan.”  Suaranya memelas.
            “Upahmu dibayar besok.  Limapuluh ribu,” jelas Hengky.  “Tapi kalau jumlah burung itu berkurang, upahmu dipotong.  Sepuluh ribu untuk satu burung yang hilang.  Jelas?”
            Muka Driyo berbinar, membayangkan upah yang akan diterimanya esok.  “Jelas… jelas.”
            “Ingat, ketika saya kembali, di dalam kandang harus ada sepuluh burung,” Hengky menegaskan.
            Driyo mengangguk.  Ya iyalah, burung-burung itu tidak akan dijual…pikir Driyo.

            Pagi-pagi sekali Driyo sudah berada di dekat kandang burung.  Ia membersihkan kandang dan mengisi tempat makan dan minum.  Driyo mengambil enam ekor burung yang tampak lemas sekali.  Ia menyendokkan air ke sela-sela paruh secara bergantian.   Burung-burung itu menggoyangkan kepala, ucapkan terima kasih.  Tetapi badan mereka tetap saja lemas.
            Siang hari, Driyo datang untuk menambah makanan burung.  Enam  ekor burung yang tadi dibantu minum, terbaring di dasar kandang.  Mereka mati. 
            Driyo memperhatikan empat burung lainnya.  Mereka juga tampak lemas, tidak memiliki tenaga untuk mengepakkan sayap.  Pasti mereka akan menyusul teman-temannya.  Harus cari obat, nih…, pikir Driyo.  
            Driyo mengumpulkan beberapa macam daun yang berkhasiat mengobati burung yang lemas.  Daun-daun itu dihancurkan dan dicampur dengan air.         
            Tetapi Driyo terlambat sampai di kandang burung.  Sangat terlambat.  Empat burung yang tadi lemas, sekarang mati.
            Driyo memandang lemas kandang yang kini berisi sepuluh bangkai burung.  Bagaimana ini?  Driyo duduk lemas di depan kandang burung, hingga tidak mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
            “Hah?  Kenapa mati semua?” jerit Hengky.
            Driyo menjelaskan kejadian yang menimpa burung-burung itu. 
Tetapi Hengky tidak mau mengerti.  “Kau harus menggantinya!” kata Hengky ketus.  “Sepuluh ribu dikali sepuluh burung.  Total seratus ribu.”
“Darimana saya punya uang sebanyak itu,” jelas Driyo.  “Lagipula burung ini sudah lemas ketika saya datang.”
“Tidak mau tahu!  Pokoknya, kamu harus ganti seratus ribu.”
“Saya enggak punya uang.”
Hengky tidak habis akal.  “Ayo, ikut!  Kita ke Pak Kades, biar kamu dipenjara!”
“Jangan. Saya minta maaf.”  Tangan Driyo ditarik Hengky menuju kantor Kepala Desa.
“Main apa ini?  Kok saya enggak diajak?” tanya Pak Kades.  Ia tersenyum melihat Driyo yang ditarik-tarik Hengky.
“Penjarakan dia, Pak Kades.”  Hengky menunjuk Driyo.  “Dia enggak mau bayar.”
“Jangan buru-buru masuk penjara.  Jelaskan dulu,”  kata Pak Kades.
Dengan berapi-api, Hengky menjelaskan semuanya.
Pak Kades menatap Driyo.  “Kamu diupah jaga burung.  Kenapa burungnya bisa sampai mati?”  Tanpa menunggu jawaban Driyo, Pak Kades menoleh ke Hengky.  “Apa pesanmu sebelum pergi?  Ketika kamu pulang, harus ada sepuluh burung di dalam kandang.  Betul?”
“Betul, Pak Kades.”
“Di mana burung-burung yang mati itu?” tanya Pak Kades.
“Masih di sana.  Di kandang,” jawab Driyo.
“Jadi sekarang ada sepuluh burung di dalam kandang.  Betul?” tanya Pak Kades kepada Hengky.
“Be…  Betul,” jawab Hengky ragu.
“Sekarang jelas.  Driyo tidak perlu membayar ganti rugi.  Tapi Hengky harus membayar upah Driyo.”  Senyum Pak Kades semakin lebar.  Senyum keberhasilan mengatasi kelicikan Hengky.  “Tunggu apa lagi?  Ayo bayar upah Driyo!”
Dengan muka masam, Hengky terpaksa membuka dompet, lalu memberikan upah Driyo. 



Judul: Sungguh, Ada Sepuluh
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 13 XLI 4 Juli 2013