Laki-laki itu duduk dengan punggung
membungkuk. Sebagian kulit kepalanya tampak jelas. Sepatu Bally cokelat yang
dipakainya tampak pudar di bagian ujung, pasti karena terlalu sering terantuk.
Huruf C simbol merek kaca mata terkenal sangat menonjol di gagang kaca matanya.
Tapi ini model kaca mata yang ‘in’ 15 tahun silam. Celana warna krem dipadukan
dengan ikat pinggang warna hitam. Jelas salah warna.
“Intinya, laporan pemberian uang untuk pejabat itu sudah ada di meja ketika saya datang. Saya sama sekali tidak menyuruh mereka,” lanjut laki-laki itu sambil merapikan kemeja kotak-kotak
cokelat dan jingga. Logo huruf H cukup mencolok di ujung lengan. Tapi warna
kemejanya sudah pudar. Kemeja yang telah dicuci ratusan kali.
Aku melirik jam tangan yang berhias selusin berlian, pemberian istri, tentunya setelah berulang kali kuminta. Hmm, sudah
hampir satu jam aku mendengarkannya. Cukup. Aku berdiri dan mengambil tangannya
untuk bersalaman. “Masalah tadi sudah sangat jelas,” kataku sambil memainkan smartphone, hadiah dari seorang perempuan manis yang sedang kudekati.
Laki-laki itu berdiri dan berjalan
bersama ke luar ruangan.
“Nanti Linda yang akan menghubungi
Anda.” Aku menunjuk ruang sekretaris yang berada dekat ruanganku. Lampu kristal di ruangan itu tampak terang, pertanda Linda berada di ruangan.
“Terima kasih banyak,” kata
laki-laki sambil membungkuk dalam. Jika tidak kuelakkan dengan cepat, ia pasti
mencium tanganku.
Setelah laki-laki itu ke luar
ruangan, Linda muncul. “Bagaimana, Pak?” tanya Linda.
“Hmm.” Aku memberi tanda agar Linda mengikutiku.
“Jadi kita ambil?” tanya Linda,
berjalan bersisian.
Wangi parfum yang kemarin aku berikan tercium jelas.
Aku duduk di belakang meja. “Catat. Segera
atur pertemuan dengan Mario, Tenno dan Gaharu,” kataku menyebut nama-nama rekan
baru. “Mereka semua harus belajar membedakan calon klien yang potensial dan
yang tidak.”
Linda mengangguk sambil mencatat.
“Kamu pikir orang tadi potensial?”
tanyaku dengan suara tinggi. “Bermerek sih iya, tapi barang usang semua.
Bisa-bisa ia bayar aku pakai sen!”
“Tapi kasusnya bisa melambungkan
nama Bapak.”
“Sudah tidak perlu,” kataku
tersenyum penuh makna. “Toh sebentar lagi aku yang memimpin negara ini.” Aku memandang ke luar ruangan. Terbayang baliho besar yang memajang wajah rupawanku berada di sudut-sudut jalan.
No comments:
Post a Comment