Wednesday, February 6, 2013

PANTAI TIKU


            Aku melepas sandal dan menjinjingnya. Butiran pasir basah dan terasa hangat, menyelinap di antara jari-jari kaki. Angin pagi ini berhembus pelan, cukup mengayunkan daun-daun pinus yang ditanam berjejer di dekat pantai. Terbawa hembusan angin, aroma laut tercium jelas dan melapangkan jalan pernapasan.
            Suara ombak kali ini terdengar bagai kidung pilu, nada rendah yang panjang. Ombak datang silih berganti. Sesekali kudekatkan kedua telapak kaki agar air itu tidak cepat kembali ke laut. Terasa hangat. Butir-butir pasir putih tertinggal di punggung telapak kaki. Berkilauan, terkena sinar matahari.
            Empat laki-laki berkulit kelam menarik pukat. Tali tambang besar melilit pinggang dan tangan mereka terulur di depan perut, siap menarik tambang. Setiap akan bergerak, orang yang berdiri di depan berteriak ciek yang berarti satu. Lalu mereka bergerak bersamaan. Ujung jari diketukkan ke pasir sebelum mereka melangkah mundur, selangkah demi selangkah. Gerakan mereka seirama, mirip orang yang sedang menari.
            Aku berhenti di tumpukan batu karang, memilih landasan untuk duduk. Satu batu karang licin berada di bawah dan dilalui air laut. Batu karang yang di sebelah atas, kering walau tidak selicin yang di bawah. Batu karang yang atas menjadi pilihanku.
Aku menatap bayangan pohon pinus. Puncak bayangan itu menyentuh garis pantai. Hmm, pasti jam sembilan, tebakku sambil melihat arloji. Waktunya bertemu Faisal. Tepat ketika aku mengangkat kepala, seorang laki-laki muda dengan rambut keriting, muncul dari sela-sela pohon pinus. Tas kain bertali panjang menyilang dadanya. Ia berjalan lurus menuju tempatku duduk. Itukah Faisal? Anak kecil yang kutemui limabelas tahun lalu ketika aku dan tim mengadakan penelitian biota laut di sini.
Ia menghampiri dan menyalamiku penuh hormat.
“Faisal?” tanyaku sambil tersenyum.
Laki-laki itu menggeleng lemah. Ia mengeluarkan map plastik dari dalam tas kain. “Iko dokumen yang akan Faisal tunju'an ka Ibu. Rapor dari SD hingga SMA. Transkrip nilai kuliah dan ijazah. Semua lengkap di siko.” Ia menyerahkan map itu.  “Beasiswa yang Ibu berikan tidak ia sia-siakan. Ia kerja keras. Selalu juara dan lulus kuliah dengan predikat SM.”
“Mana Faisal?”
“Kemarin sore Faisal alah dikubua. Liver.”

Catatan:
iko: ini
tunju'an: tunjukkan
ka: kepada
alah: sudah
dikubua: dikubur

No comments:

Post a Comment