“May, cepat makannya. Kita berangkat,” ajak Kak Kiki sambil berjalan ke
teras depan. Ia akan mengantar Umay karena ini hari pertama Umay sekolah di Jakarta.
Sebelumnya Umay bersekolah di Surabaya,
kota tempat bapaknya tinggal.
“Pagi amat, Kak.” Umay terus mengunyah roti selai kacang. “Tuh, langitnya masih gelap.”
“Sekolah mulai jam setengah
tujuh. Jam segini harusnya Umay sudah berangkat,” kata Ibu.
“Iya, Bu.” Umay mengunyah lebih cepat.
Dan diakhiri dengan segelas susu putih.
“Umay berangkat, Bu,” salam Umay.
“Nanti Kak
Kiki yang menjemputmu. Jangan pulang sendiri,” pesan Ibu.
“Oke, Bu,”
jawab Umay dari depan pintu.
“Sudah siap?” tanya Kak Kiki yang menunggu di teras depan.
Umay mengangguk pasti.
“Kak
Kiki anter sampai sekolah, kan?” tanya Umay.
“Iya, tapi hari ini saja. Besok
kamu pergi sendiri,” jawab Kak Kiki.
“Kalau Umay diculik, gimana Kak?” tanya Umay asal.
“Kamu teriak, lalu tendang kaki penculik di bagian sini.” Kak
Kiki menunjukkan bagian
tulang kering.
“Setelah itu, kamu lari buru-buru,” jawab Kak Kiki
serius. “Ini rumah Om Bambang. Di sini, kamu belok kiri.” Kak Kiki menunjuk ke rumah besar yang berwarna biru.
Umay tidak terlalu memperhatikan rumah Om Bambang. Ia masih
bertanya tentang proses melarikan diri dari penculik. “Kalau penculik itu marah, gimana Kak?” tanya Umay lagi.
“Diamkan saja. Pokoknya, kamu lari buru-buru.” Mereka berhenti di dekat lampu merah. “Tunggu sampai
lampu merah menyala dan mobil berhenti. Baru kamu menyeberang jalan.”
“Hmm, pagi ini kamu cerewet sekali,”
gumam Kak
Kiki.
Ia menunjuk ke arah polisi yang sedang berdiri di seberang
jalan. “Tuh ada pak polisi. Kamu bisa minta tolong dia.”
“Dikasih duit berapa,
Kak?”
“Hush! Tidak perlu. Pak polisi itu
senang membantu, kok.” Kak Kiki menjawab pertanyaan Umay dengan serius. Ia
ingin memastikan bahwa esok hari, Umay bisa berangkat ke sekolah sendiri. “Nah, sekolahmu sudah
kelihatan dari sini. Ituuu,” tunjuk Kak Kiki.
Lampu merah menyala dan kendaraan
berhenti di belakang garis zebra cross.
Beberapa penyeberang jalan juga berseragam sekolah seperti Umay.
“Besok kamu bisa menyeberang sama-sama dengan mereka. Pokoknya
tunggu sampai lampu merah menyala
dan mobil-mobil berhenti,”
ulang Kak
Kiki.
“Sekarang kamu masuk
kelas. Masih ingat kelasmu?” Kak Kiki menunjuk ruang kelas yang ada di pinggir kanan.
Cerita lengkap bisa dibaca di Majalah Bobo.
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 21 XLI 29 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment