Bu
Tyas duduk termenung di depan toko pakan ternak miliknya. Dalam tiga bulan ini jumlah pembeli yang
datang ke tokonya hanya lima orang.
Masing-masing mereka hanya membeli setengah kilo dedak. “Ah, kalau terus begini, toko ini akan segera
tutup...,” keluh bu Tyas.
Anak-anak
negeri Kalomolomo memang sedikit sekali yang memiliki hewan peliharaan. Mereka umumnya memelihara electronic pet, hewan mainan yang dijalankan
dengan batu baterai. Setiap dua jam,
anak-anak itu memencet tombol untuk memberi makan. Kalau terlambat, hewan itu akan mati. Dan untuk menghidupkan hewan itu kembali,
mereka cukup membeli kartu elektrik yang dijual di toko mainan.
Seorang
pejalan kaki menghampiri toko. “Permisi,
Bu...”
Bu
Tyas langsung berdiri, bersemangat.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa agar orang tersebut berbelanja di
tokonya. “Cari apa?” tanya bu Tyas
ramah.
“Bisa
tolong tunjukkan jalan menuju gedung Kaleme?”
Bu
Tyas menarik nafas panjang. “Ikuti saja
jalan ini sampai simpang empat di depan sana.
Kemudian belok kiri. Gedung
Kaleme ada di sebelah kanan jalan,” jawab bu Tyas.
“Jadi,
terus saja dan belok kiri di simpang empat?” ulang orang itu.
“Iya,
benar.”
“Terima
kasih, Bu...” Dan orang itu meneruskan
perjalanan menuju gedung Kaleme.
Bu
Tyas melongok ke ujung jalan di kiri dan kanan.
Sepi. Tidak banyak orang yang
melintas di jalan itu. Bu Tyas akhirnya
memutuskan untuk menutup toko dan pergi berjalan-jalan. Ia tidak punya tujuan yang jelas. Ia hanya perlu berjalan kaki untuk
berpikir. Memang aneh. Tetapi itulah kebiasaan bu Tyas. Ia berpikir sambil berjalan kaki.
Sepasang
ayam sedang membongkar timbunan sampah.
Mereka menggali cukup dalam.
“Pasti mereka mencari cacing untuk menu makan siang kali ini,” pikir bu
Tyas.
Di
tempat terpisah, ada seekor induk ayam yang sedang memimpin enam
anaknya. Induk ayam itu marah ketika bu
Tyas hendak mengambil seekor anak ayam yang berwarna kuning. Bu Tyas mengurungkan niat. Ia membiarkan induk dan anak ayam itu
berlalu. Lucu sekali. Anak-anak itu berjalan beriringan di belakang
induk ayam. “A ha!” teriak bu Tyas. Tiba-tiba ia mendapat ide cemerlang.
Bu
Tyas bergegas pergi ke peternakan ayam milik bu Fitri.
“Maaf,
stok pakan ternak saya masih banyak,” kata bu Fitri ketika melihat bu Tyas
datang.
Bu
Tyas tersenyum kecil. “Saya bukan mau menawarkan
pakan. Tetapi mau membeli anak ayam,”
kata bu Tyas.
“Oh,
sebenarnya saya hanya menjual ayam dewasa.
Tetapi untuk bu Tyas, bolehlah....
Mari..., mari..., silakan pilih,” kata bu Fitri cepat. Ia menunjukkan kardus yang berisi anak
ayam. Semua berwarna kuning. “Lihat, mereka sehat-sehat. Bu Tyas perlu berapa ekor?”
Setelah
mencocokkan harga anak ayam dengan jumlah uang yang dipunya, bu Tyas menjawab,
“Seratus ekor saja.”
Bu
Fitri memasukkan seratus lima ekor dalam sepuluh kantong semen. “Lima ekor sebagai bonus,” kata bu Fitri
sambil menerima uang pembelian.
Bu
Tyas tidak langsung pulang atau menuju tokonya.
Ia berjalan memutar, menuju sekolah dasar terbesar yang ada di negeri
Kalomolomo. Pada saat itu, jam pelajaran
baru saja usai. Dengan sigap, bu Tyas
membagi-bagikan anak-anak ayam ke anak sekolah.
Mereka senang menerima anak ayam lucu.
Bu
Tyas kini berjalan menuju tokonya sambil membawa limabelas anak ayam sisa. Ternyata di muka toko sudah menunggu pak
Gandi.
“Hai,
pak Gandi. Perlu apa nih?” tanya bu
Tyas.
“Saya
mau beli pakan ikan lele. Setengah kilo
saja,” jawab pak Gandi.
Bu
Tyas menimbang setengah kilo pakan ikan lele dan memasukkannya ke dalam tas
plastik. “Ini saya kasih hadiah satu
anak ayam lucu.” Bu Tyas menyerahkan
pakan ikan lele dan satu ekor anak ayam kepada pak Gandi.
Pak
Gandi menyerahkan uang. “Wah, terima
kasih. Saya dengar toko ini sepi. Malah ada yang bilang toko ini sebentar lagi
akan tutup. Tetapi bu Tyas malah
bagi-bagi hadiah lucu. Terima kasih
banyak, bu Tyas.”
Bu
Tyas memindahkan sisa anak ayam ke dalam kardus supaya anak ayam itu bisa
bernafas lebih baik. Ia tidak lupa
meletakkan dedak di dalam kardus.
“Bu
Tyas...,” panggil Bu Laela. “Punya
makanan untuk anak ayam? Beli setengah
kilo.”
“Sebentar,
saya ambilkan,” kata bu Tyas. Ia
menimbang setengah kilo dedak dan memasukkan seekor anak ayam sebagai
bonus.
“Ah,
terima kasih. Tadi anak saya pulang
membawa seekor anak ayam. Jadi anak ayam
yang di rumah akan ada temannya,” kata bu Laela tersenyum.
Baru
saja bu Laela pergi, sekitar delapan puluh orang datang silih berganti. Mereka datang untuk keperluan yang sama,
membeli makanan untuk anak ayam. Sejak
itu toko pakan milik bu Tyas kembali ramai didatangi orang. Mulanya mereka mencari makanan untuk anak
ayam, tetapi lambat laun, mereka mencari makanan untuk ayam dewasa.
Dan
toko pakan milik bu Tyas menjadi yang terbesar di negeri Kalomo setelah ia
menjalin kerjasama dengan bu Fitri dalam penyediaan anak ayam.
Judul: Siapa Mau Anak Ayam?
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012
No comments:
Post a Comment