Wednesday, April 8, 2015

PASAR ADA DI MANA-MANA

Pasar, nama sederhana tapi menjadi magnet untuk dikunjungi. Saya seringkali mencari kesempatan untuk berkunjung ke pasar, terlebih pasar di daerah atau kota kecil. Selain untuk melihat produk lokal yang unik, demi melihat interaksi penduduk setempat. Apalagi kalau sempat mendengar celetukan-celetukan khas mereka.

Pada salah satu tugas di Cirebon, mendadak saya membutuhkan bengkoang. Sejak beberapa tahun lalu, saya mewajibkan diri makan bengkoang, guna membantu badan menyerap vitamin C lebih baik lagi.. Kembali ke cerita tentang pasar. Demi mencari bengkoang, saya pergi ke pasar tradisional yang bisa dijangkau dengan jalan kaki dari hotel. Ternyata ada keunikan lain. Di sana banyak penjual bawang yang telah diiris dan cabe merah yang juga diiris-iris tipis. Asumsi, bawang merah itu untuk diolah jadi bawang goreng yang banyak dijadikan oleh-oleh dari Cirebon. Sedangkan cabe merah iris, itu untuk taburan nasi jamlang. Moga ini asumsi benar dan tidak menyesatkan.


Pasar Tomohon, ckckck. Ini sungguh kunjungan pasar untuk uji nyali. Jarak tempuh dari hotel juga cukup jauh, beda kota, booo. Tinggal di Manado, lalu ke pasar di Minahasa, sekitar 80 menit perjalanan deh. Penjual sayur, buah, bunga tentu mirip dengan pasar lainnya. Di sini mudah sekali ditemui paku. Iya, paku disini di masak, biasanya diberi tambahan ikan cakalang fufu. Mantap. Eits, sayur paku yang disebut ini biasa disebut pakis. Hmm, terbayang bentuk dan rasanya kan? Untuk bagian daging, banyak
pengecualian. Selain daging yang umum ditemui di pasar-pasar di Jakarta, di sini juga mudah mendapatkan kelelawar, ular, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Banyak macamnya.



Purwokerto lain lagi. Kala itu saya ke pasar bukan untuk urusan bengkoang.Ini semata-mata kunjungan karena ada wakstu lebih sebelum jadwal kereta untuk balik ke Jakarta. Mata tetuju pada penjual tempe yang banyak tersebar di pasar, mereka tidak ditempatkan berkelompok, seperti penjual daging (emang bukan daging tempe). Nah, selain tempe yang berukuran tebal, juga ada tempe-tempe yang dibungkus. bungkusannya begitu tipis sehingga saya penasaran dengan isinya. Eh, apa ada isinya? Satu bapak penjual langsung membuka bungkusan itu dan tampaklah kacang kedele yang tersebar dalam bungkusan itu. Kacang kedelenya bisa dihitung, cukup jari di satu tangan saja, tapi lapisan putih yang kayak awan itu memenuhi bungkusan. Ternyata itu tempe khusus untuk mendoan. Baiklah, beberapa bungkus tempe mendoan ikut dibawa pulang ke Jakarta.


Pasar di Tiku beda lagi. Di Tiku sendiri ada tempat  bernama Pasar, yang isinya ya pemukiman gitu, rumah-rumah. Tempat jual beli disebutnya Balai. Untuk urusan nama ini, beberapa kali saya sukses bikin orang-orang bingung. Ketika bilang, saya mau ke 'pasar', tapi saya menunjuk ke arah balai. Lalu bilang di 'pasar' enggak ada yang jualan. Keunikan lain, pasar (yang penduduk lokal sebut sebagai balai) di sana hanya aktif pada hari Senin. Selebihnya lokasi pasar itu sepi. Pada hari Senin, pedagang dari berbagai daerah datang, seperti dari Bukittinggi yang membawa truk berisi sayur dan buah.
Setelah berjualan, mereka kembali ke daerah masing-masing dan akan datang kembali hari Senin berikutnya. Rapih dan teratur, seperti bebek-bebek yang berjalan pulang dari sungai. Hal yang berbeda dengan penjual lokan dan langkitang (sejening kerang). Kala itu ada lima penjual, semuanya ibu-ibu usia sekitar 50 tahun datang di lokasi pasar hari Jumat dari tempat yang cukup jauh (lupa nama lokasi asal mereka), membawa karung-karung plastik besar berisi barang dagangan. Mereka juga tidur di lokasi pasar. Biasanya menjelang hari Senin, barang dagangan mereka hanya tinggal sepertiga. Hubungan antar mereka sangat erat. 
Suatu kali saya lihat seorang penjual yang membantu membereskan karung dagangan langkitan temannya yang bocor. Akibatnya, langkitang-langkitang itu piknik hingga ke jalan (mustinya kan piknik di atas rumput, hehehe). 

Lalu bagaimana wujud pasar selain hari Senin? Sepi, walau ada beberapa toko kelontong di dekat pasar yang tetap buka.

No comments:

Post a Comment