Saat masih di perjalanan, saya terima pesannya yang menyatakan ia sudah tiba di lokasi dan bingung memilih restoran. Ia tidak mungkin menunggu saya tiba karena bisa dipastikan restoran akan penuh. Menit selanjutnya satu pesan masuk: Kedai Tiga Nyonya.
Mengambil tempat di deretan belakang dan di sudut, restoran ini memiliki dua lantai, yang semuanya merupakan non-smoking area. Berdiri di luar, saya melihat pintu kaca dua daun yang diganjal pagar pendek. Pastinya bukan ini pintu yang digunakan untuk tamu keluar masuk. Apa iya tuh tamu lompat pagar dulu? Ternyata di sampingnya, ada pintu kaca dua daun lainnya. di salah satu daun pintu tergantung tulisan BUKA. Nah ini pasti pintu masuknya.
Seorang pelayan langsung menyambut ketika saya masuk. Teman yang duduk tidak jauh dari pintu masuk langsung terlihat jelas. Meja makan bertaplak katun putih, dilapisi kertas putih. Di atas meja sudah tersedia kertas sendok dan garpu. Dinding restoran yang berwarna dengan motif lengkung-lengkung berupaya menambah kesan hangat ruangan. Lantai dengan model ubin tempo dulu (eh, apa ini benar-benar ubin kuno?) juga berupaya menambah semarak ruangan. Di dekat meja kasir ada lemari kaca tempat menyimpan berbagai macam kalung manik-manik. (Well, saya sulit bedakan antara manik-manik dan kristal, hiks). salah satu dinding yang menghadap pintu, ada sebuah cermin besar. Pasti tujuannya untuk menambah kesan luas ruangan.
Jarak satu meja dan meja lainnya sangat dekat, sehingga pembicaraan meja sebelah sangat mungkin mengganggu. Eh, lagian ini kan mau makan, bukannya mengobrol, ya? Sandaran kursi yang saya duduki hanya berjarak sepuluh senti dari sandaran kursi tamu di meja lain. Sungguh-sungguh sangat dekat. Saya langsung membayangkan untuk datang kembali ke tempat ini, bukan pada jam sibuk. Pastinya saya bisa menikmati suasana yang coba diciptakan.
Laksa Spesial |
Lalu bagaimana dengan makanan? Pilihan makanan banyak, dilengkapi dengan penjelasan dan foto. Kami memesan laksa dan nasi bali. Laksa datang terlebih dahulu. Nasi bali, mungkin karena butuh waktu yang lebih lama untuk persiapan dan penyajiannya, baru datang setelah laksa tinggal setengah mangkok.
Dalam mangkok laksa terdapat tauge, kemangi, telur ayam, udang, potongan tahu dan bihun. Kuah yang kental dan gurih. Padahal di buku menu jelas-jelas tertulis semua makanan non MSG, jadi pastinya rasa gurih ini berasal dari racikan bumbu-bumbu dan kaldu. Uap panas yang menyebar beraroma sedap, mengajak orang segera mencicipinya. Sayang, laksa ini terlalu oily.
Nasi Bali |
Pilihan minuman juga banyak, dan (sayangnya) banyak juga yang pakai pewarna, seperti kolang-kaling merah. Aih! Minuman yang kami pilih teh manis, es campur, es cincau hijau yang segar dan es sirsak kelapa muda. Banyak memang, karena masing-masing minum dua gelas. Sirsak yang asam bercampur dengan sirup manis menimbulkan sensasi tersendiri, bisa menghapus sisa-sisa minyak dari laksa yang lengket di rongga mulut.
Es Sirsak Kelapa Muda |
Es Cincau Hijau |
Di pintu, setelah menyelesaikan proyek makan siang, saya dan teman berbagi pendapat. Sungguh, kami ingin mengulangi makan di Kedai Tiga Nyonya di saat tidak padat pengunjung dan mencoba menu lainnya. Hmm, tapi kira-kira kapan Kedai Tiga Nyonya itu sepi?
No comments:
Post a Comment