Tetiba ingat Tante Margo yang dulu tinggal di sebelah rumah. Kala itu, hampir setiap hari saya main di rumahnya, bahkan sampai tidur siang pun di rumahnya. Menjelang tidur, Tante Margo akan bercerita menggunakan gambar kartun tanpa kata-kata yang ada di majalah Intisari. Hebatnya, gambar yang sama bisa jadi cerita yang berbeda di lain hari. Mungkin ini salah satu yang memupuk saya gemar bercerita :)
Cerpen berikut berjudul Adiiku, Milan yang gemar pergi ke rumah tetangga sebelah. Siapa nama tetangga itu? ;) Baca cerita lengkapnya di
Majalah Bobo
No. 14 tahun XLIII
09 Juli 2015
Tuesday, September 22, 2015
Monday, September 21, 2015
CILOK KEPITING
Sudah lama ingin bikin cilok, tapi seperti juga cireng, sohibnya, saya belum temukan resep yang benar-benar jelas perbandingan bahan-bahannya. Kali ini pun, resep yang digunakan juga pakai kata 'secukupnya,' kata yang saya benci di setiap resep. Maklum, saya bukan pemasak handal.
Jadi hari ini dibuatlah cilok dengan bahan-bahan yang ada, termasuk semangkok sup kepiting sisa kemarin. :)
Bahan-bahan:
30 gram sagu
30 gram terigu
1 tangkai daun bawang, diiris halus
1/4 sdt garam
1/4 sdt merica
1 bawang putih
1 sdt minyak
30 ml kaldu (saya gunakan kuah sop kepiting)
10 gr daging kepiting (dari sop kepiting)
2 sdm bumbu pecal yang dicampur dengan air
Cara membuat:
Didihkan kaldu, minyak dan bawang putih.
Campur sagu, terigu, daun bawang, garam, merica dan daging kepiting.
Tuang air kaldu ke dalam campuran tepung sedikit demi sedikit, sambil diaduk hingga tidak lengket di tangan.
Bulatkan adonan tepung.
Didihkan air dan masukkan bulatan tadi hingga mengambang.
Angkat dan sajikan dengan kuah pecel.
Jadi hari ini dibuatlah cilok dengan bahan-bahan yang ada, termasuk semangkok sup kepiting sisa kemarin. :)
Bahan-bahan:
30 gram sagu
30 gram terigu
1 tangkai daun bawang, diiris halus
1/4 sdt garam
1/4 sdt merica
1 bawang putih
1 sdt minyak
30 ml kaldu (saya gunakan kuah sop kepiting)
10 gr daging kepiting (dari sop kepiting)
2 sdm bumbu pecal yang dicampur dengan air
Cara membuat:
Didihkan kaldu, minyak dan bawang putih.
Campur sagu, terigu, daun bawang, garam, merica dan daging kepiting.
Tuang air kaldu ke dalam campuran tepung sedikit demi sedikit, sambil diaduk hingga tidak lengket di tangan.
Bulatkan adonan tepung.
Didihkan air dan masukkan bulatan tadi hingga mengambang.
Angkat dan sajikan dengan kuah pecel.
Saturday, September 19, 2015
BUAT APA AKU DI SINI?
Sering kali ketika sedang sendiri, saya menemukan hal-hal unik. Seperti waktu itu, sepulang jalan pagi, saya melihat perempuan yang tampak heboh dengan ponsel di tangannya. sesekali ia berteriak dan tidak jarang pula ia berkata lemah-lembut. "Nih orang kenapa sih?" Mau samperin tuh orang takut dikira nosy karena orang-orang lain di sekitarnya hanya senyum-senyum saja lihat kelakuan perempuan itu.
Daripada kejadian itu berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan jejak yang mendalam, marilah ditulis Majalah Bobo. Dan cerita itu dengan judul Buat Apa Aku di Sini? dimuat, berbarengan dengan cerita lainnya yang berjudul Tragedi Es Pisang Ijo. Baca ceritanya di
dan kriim ke
Majalah Bobo
No. 12 tahun XLIII
25 Juni 2015
Daripada kejadian itu berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan jejak yang mendalam, marilah ditulis Majalah Bobo. Dan cerita itu dengan judul Buat Apa Aku di Sini? dimuat, berbarengan dengan cerita lainnya yang berjudul Tragedi Es Pisang Ijo. Baca ceritanya di
dan kriim ke
Majalah Bobo
No. 12 tahun XLIII
25 Juni 2015
Friday, September 18, 2015
TRAGEDI ES PISANG IJO
Suatu kali, sebelum berangkat ke Makassar, saya teringat pengalaman makan es pisang ijo di Makassar. Masih teringat jelas rasanya. Enak banget, sangat berbeda dari es pisang ijo yang pernah saya temui di Jakarta. Jadi, kunjungan kali ini, saya membayangkan makan es pisang ijo di kota asalnya. Tidak terlalu berharap makan es pisang ijo di tempat yang dulu karena saya lupa nama tempat dan lokasinya. Biasalah, itu...
Hari pertama di kota itu berlalu begitu saja, tanpa sedikitpun ada kesempatan untuk makan es pisang ijo. Hari kedua ternyata juga sama saja. Hingga hari terakhir di kota itu, saya tidak punya kesempatan untuk mencicipi makanan yang sempat ngehits di Jakarta.
Pengalaman dengan makanan itu yang menjadi inspirasi cerita berikut ini. Ada kisah 'jleb' di seputar es pisang ijo.
Pasti sudah baca ceritanya di
Majalah Bobo
No. 12 tahun XLIII
25 Juni 2015
Hari pertama di kota itu berlalu begitu saja, tanpa sedikitpun ada kesempatan untuk makan es pisang ijo. Hari kedua ternyata juga sama saja. Hingga hari terakhir di kota itu, saya tidak punya kesempatan untuk mencicipi makanan yang sempat ngehits di Jakarta.
Pengalaman dengan makanan itu yang menjadi inspirasi cerita berikut ini. Ada kisah 'jleb' di seputar es pisang ijo.
Pasti sudah baca ceritanya di
Majalah Bobo
No. 12 tahun XLIII
25 Juni 2015
Thursday, September 17, 2015
Tempat Baru itu Bernama Kedai Tiga Nyonya
Tetiba ada ajakan makan siang hari ini di TIS, Tebet Indraya Square, tempat yang selalu penuh di saat jam makan siang. Walau begitu, ajakan satu ini tidak dilewatkan demi bertemu teman lama dan bagi-bagi cerita.
Saat masih di perjalanan, saya terima pesannya yang menyatakan ia sudah tiba di lokasi dan bingung memilih restoran. Ia tidak mungkin menunggu saya tiba karena bisa dipastikan restoran akan penuh. Menit selanjutnya satu pesan masuk: Kedai Tiga Nyonya.
Mengambil tempat di deretan belakang dan di sudut, restoran ini memiliki dua lantai, yang semuanya merupakan non-smoking area. Berdiri di luar, saya melihat pintu kaca dua daun yang diganjal pagar pendek. Pastinya bukan ini pintu yang digunakan untuk tamu keluar masuk. Apa iya tuh tamu lompat pagar dulu? Ternyata di sampingnya, ada pintu kaca dua daun lainnya. di salah satu daun pintu tergantung tulisan BUKA. Nah ini pasti pintu masuknya.
Seorang pelayan langsung menyambut ketika saya masuk. Teman yang duduk tidak jauh dari pintu masuk langsung terlihat jelas. Meja makan bertaplak katun putih, dilapisi kertas putih. Di atas meja sudah tersedia kertas sendok dan garpu. Dinding restoran yang berwarna dengan motif lengkung-lengkung berupaya menambah kesan hangat ruangan. Lantai dengan model ubin tempo dulu (eh, apa ini benar-benar ubin kuno?) juga berupaya menambah semarak ruangan. Di dekat meja kasir ada lemari kaca tempat menyimpan berbagai macam kalung manik-manik. (Well, saya sulit bedakan antara manik-manik dan kristal, hiks). salah satu dinding yang menghadap pintu, ada sebuah cermin besar. Pasti tujuannya untuk menambah kesan luas ruangan.
Jarak satu meja dan meja lainnya sangat dekat, sehingga pembicaraan meja sebelah sangat mungkin mengganggu. Eh, lagian ini kan mau makan, bukannya mengobrol, ya? Sandaran kursi yang saya duduki hanya berjarak sepuluh senti dari sandaran kursi tamu di meja lain. Sungguh-sungguh sangat dekat. Saya langsung membayangkan untuk datang kembali ke tempat ini, bukan pada jam sibuk. Pastinya saya bisa menikmati suasana yang coba diciptakan.
Saat jam makan siang itu, terdengar pelayan menyebutkan tidak ada meja
kosong kepada beberapa tamu yang datang. Pelayan menawarkan mereka untuk
menunggu atau ke sister restaurant di lokasi yang sama.
Lalu bagaimana dengan makanan? Pilihan makanan banyak, dilengkapi dengan penjelasan dan foto. Kami memesan laksa dan nasi bali. Laksa datang terlebih dahulu. Nasi bali, mungkin karena butuh waktu yang lebih lama untuk persiapan dan penyajiannya, baru datang setelah laksa tinggal setengah mangkok.
Dalam mangkok laksa terdapat tauge, kemangi, telur ayam, udang, potongan tahu dan bihun. Kuah yang kental dan gurih. Padahal di buku menu jelas-jelas tertulis semua makanan non MSG, jadi pastinya rasa gurih ini berasal dari racikan bumbu-bumbu dan kaldu. Uap panas yang menyebar beraroma sedap, mengajak orang segera mencicipinya. Sayang, laksa ini terlalu oily.
Nasi bali datang dalam ukuran besar, menurut porsi kami. Nasinya terbungkus dalam daun pisang, bersama sambal, kangkung dan kacang panjang. Di samping bungkusan nasi, tampak dua tusuk sate, satu sate lilit, satunya lagi sate potongan.
Pilihan minuman juga banyak, dan (sayangnya) banyak juga yang pakai pewarna, seperti kolang-kaling merah. Aih! Minuman yang kami pilih teh manis, es campur, es cincau hijau yang segar dan es sirsak kelapa muda. Banyak memang, karena masing-masing minum dua gelas. Sirsak yang asam bercampur dengan sirup manis menimbulkan sensasi tersendiri, bisa menghapus sisa-sisa minyak dari laksa yang lengket di rongga mulut.
Di pintu, setelah menyelesaikan proyek makan siang, saya dan teman berbagi pendapat. Sungguh, kami ingin mengulangi makan di Kedai Tiga Nyonya di saat tidak padat pengunjung dan mencoba menu lainnya. Hmm, tapi kira-kira kapan Kedai Tiga Nyonya itu sepi?
Saat masih di perjalanan, saya terima pesannya yang menyatakan ia sudah tiba di lokasi dan bingung memilih restoran. Ia tidak mungkin menunggu saya tiba karena bisa dipastikan restoran akan penuh. Menit selanjutnya satu pesan masuk: Kedai Tiga Nyonya.
Mengambil tempat di deretan belakang dan di sudut, restoran ini memiliki dua lantai, yang semuanya merupakan non-smoking area. Berdiri di luar, saya melihat pintu kaca dua daun yang diganjal pagar pendek. Pastinya bukan ini pintu yang digunakan untuk tamu keluar masuk. Apa iya tuh tamu lompat pagar dulu? Ternyata di sampingnya, ada pintu kaca dua daun lainnya. di salah satu daun pintu tergantung tulisan BUKA. Nah ini pasti pintu masuknya.
Seorang pelayan langsung menyambut ketika saya masuk. Teman yang duduk tidak jauh dari pintu masuk langsung terlihat jelas. Meja makan bertaplak katun putih, dilapisi kertas putih. Di atas meja sudah tersedia kertas sendok dan garpu. Dinding restoran yang berwarna dengan motif lengkung-lengkung berupaya menambah kesan hangat ruangan. Lantai dengan model ubin tempo dulu (eh, apa ini benar-benar ubin kuno?) juga berupaya menambah semarak ruangan. Di dekat meja kasir ada lemari kaca tempat menyimpan berbagai macam kalung manik-manik. (Well, saya sulit bedakan antara manik-manik dan kristal, hiks). salah satu dinding yang menghadap pintu, ada sebuah cermin besar. Pasti tujuannya untuk menambah kesan luas ruangan.
Jarak satu meja dan meja lainnya sangat dekat, sehingga pembicaraan meja sebelah sangat mungkin mengganggu. Eh, lagian ini kan mau makan, bukannya mengobrol, ya? Sandaran kursi yang saya duduki hanya berjarak sepuluh senti dari sandaran kursi tamu di meja lain. Sungguh-sungguh sangat dekat. Saya langsung membayangkan untuk datang kembali ke tempat ini, bukan pada jam sibuk. Pastinya saya bisa menikmati suasana yang coba diciptakan.
Laksa Spesial |
Lalu bagaimana dengan makanan? Pilihan makanan banyak, dilengkapi dengan penjelasan dan foto. Kami memesan laksa dan nasi bali. Laksa datang terlebih dahulu. Nasi bali, mungkin karena butuh waktu yang lebih lama untuk persiapan dan penyajiannya, baru datang setelah laksa tinggal setengah mangkok.
Dalam mangkok laksa terdapat tauge, kemangi, telur ayam, udang, potongan tahu dan bihun. Kuah yang kental dan gurih. Padahal di buku menu jelas-jelas tertulis semua makanan non MSG, jadi pastinya rasa gurih ini berasal dari racikan bumbu-bumbu dan kaldu. Uap panas yang menyebar beraroma sedap, mengajak orang segera mencicipinya. Sayang, laksa ini terlalu oily.
Nasi Bali |
Pilihan minuman juga banyak, dan (sayangnya) banyak juga yang pakai pewarna, seperti kolang-kaling merah. Aih! Minuman yang kami pilih teh manis, es campur, es cincau hijau yang segar dan es sirsak kelapa muda. Banyak memang, karena masing-masing minum dua gelas. Sirsak yang asam bercampur dengan sirup manis menimbulkan sensasi tersendiri, bisa menghapus sisa-sisa minyak dari laksa yang lengket di rongga mulut.
Es Sirsak Kelapa Muda |
Es Cincau Hijau |
Di pintu, setelah menyelesaikan proyek makan siang, saya dan teman berbagi pendapat. Sungguh, kami ingin mengulangi makan di Kedai Tiga Nyonya di saat tidak padat pengunjung dan mencoba menu lainnya. Hmm, tapi kira-kira kapan Kedai Tiga Nyonya itu sepi?
Wednesday, September 16, 2015
UJIAN CALON TABIB
Raja Zhorifiandi dari Negeri Kalomolomo tertegun mendengar laporan Paman Patih. "Memangnya, Tabib Eko tidak sanggup lagi mengobati penduduk?" tanya Raja menyebut satu-satunya tabib di Negeri Kalomolomo.
Paman Patih menggeleng. "Musim pancaroba sebentar lagi datang. Biasanya ada wabahpenyakit," jelas Paman Patih. "Seperti tahun lalu, hampir setengah penduduk menderita demam dan gatal-gatal. Tabib Eko jadi kerepotan."
Nah, jika Tabib Eko tidak sanggup lagi mengatasi masalah kesehatan di Negeri Kalomolomo, Raja Zhorifiandi harus segera bertindak. Sang Raja perlu menambah jumlah tabib di negeri itu, tapi apa itu urusan mudah?
Baca kisah selengkapnya di
Majalah Bobo
No. 01 tahun XLIII
09 April 2015
Paman Patih menggeleng. "Musim pancaroba sebentar lagi datang. Biasanya ada wabahpenyakit," jelas Paman Patih. "Seperti tahun lalu, hampir setengah penduduk menderita demam dan gatal-gatal. Tabib Eko jadi kerepotan."
Nah, jika Tabib Eko tidak sanggup lagi mengatasi masalah kesehatan di Negeri Kalomolomo, Raja Zhorifiandi harus segera bertindak. Sang Raja perlu menambah jumlah tabib di negeri itu, tapi apa itu urusan mudah?
Baca kisah selengkapnya di
Majalah Bobo
No. 01 tahun XLIII
09 April 2015
Tuesday, September 15, 2015
Bandung Kekinian
Kembali kunjungan ke Bandung, tapi untuk urusan yang berbeda. Seseuai dengan tujuannya, kali ini pun lokasi menginap di daerah Margahayu, yang rasanya jauh dari tempat jajahan dulu bersama Ratih. Tapi kan bukan berarti 24 jam hitung jumlah ubin di rumah sambil selesaikan pekerjaan yang dibawa pindah kota. :D
Hari pertama, belum ada penjelajahan, kecuali depan dan belakang rumah. Dari depan rumah tampak pohon mangga manalagi yang tingginya sekitar dua meter, dengan buah yang banyak. Sepuluh mangga yang tergantung rendah, sekitar setengah meter, ada di luar pagar. Walau banyak orang yang melintas depan rumah, Alhamdulillah, mangga itu aman sentosa. Apa mungkin orang-orang di sini sudah bosan makan mangga, secara hampir setiap rumah punya pohon mangga di pekarangan depan? Sayangnya, hingga hari terakhir di Bandung, mangga itu belum ada yang layak petik.
Esok harinya, Adek koar-koar mau ke BMC, Bandoeng Melk Centrale. Ternyata tempat itu sudah jadi tempat favoritnya juga untuk minum-minum sehat dan enak. Tosss! Tapi rute dari sini menuju Jalan Aceh belum tahu. Butuh waktu untuk baca peta dan jalur angkot di sini. Menjelang sore, saya dan Adek naik angkot abu-abu jurusan Ciwastra-Cijerah dan disambung angkot Gede Bage-St. Hall. Turun di Jalan Aceh dan sambung jalan kaki dan menyeberang jalan ke BMC. Zebra cross di persimpangan tampak jelas dan pengendara di sini bersedia beri kesempatan untuk pejalan kaki menyeberang jalan, bahkan mereka berhenti sebelum zebra cross. Ah, senangnya!
Adzan Ashar terdengar dari mesjid Ukhuwah yang berada di samping BMC. Bangunan mesjid ini juga sering dijadikan patokan sudut BMC. Sambil menunggu Adek sholat, saya melihat-lihat areal sekitar. Ini nih bagian yang sulit: menghapal daerah sini, apalagi saat ini ada perbaikan di dekat mesjid. Kesempatan ini juga dipakai untuk melihat-lihat angkot yang lewat di depan mesjid. Jalur angkot ini juga dicatat. Hehehe.
Selesai Adek sholat, saya mencari informasi lebih, tapi orang itu ternyata juga tidak hapal daerah sekitar. Ada laki-laki berkulit cerah dan bertato di lengan, menghampiri saya. Mukanya tirus, bersih, berpakaian gamis cokelat. Ia malah yang banyak membantu, bahkan menawarkan bantuan lain dengan sopannya. Sebenarnya sih, banyak yang mau saya tanyakan, tapi tidak dulu deh.Takut informasi penting keburu tertindih informasi lainnya. Maklum memori terbatas.
Sore itu kami menghabiskan waktu hingga maghrib. Nah, giliran pulang, mulai deh pusing jilid berikutnya. Jalur angkot di Bandung mutar, tidak melulu melalui jalan yang sama. Tunggu sepuluh menit di pinggir jalan, membaca lagi rute angkot yang lewat, akhirnya saya melambaikan tangan pada kendaraan warna biru. Angkot? Tentu bukan!
Ketika taksi memasuki kompleks perumahan dari jalan Soekarno-Hatta, saya berpesan ke Adek untuk memberitahu arah ke pak sopir taksi. Adek dengan santai menjawab: Aku belum apal. Walah! Untung bermodalkan nama jalan, pak sopir bisa mengantar kami di depan rumah. Enggak pakai mutar-mutar di dalam kompleks.
Hari ketiga, tidak ada rencana khusus selain menyelesaikan pekerjaan, tapi Griya yang lokasinya tidak jauh dari rumah seperti melambai-lambai. Baiklah, tutup pekerjaan sebentar dan melangkah ke Griya. Di dekat konter buah potong, ada bungkusan kertas dengan tulisan colenak, rasa: nangka dan duren. Sempat ditimang-timang, lebih karena penasaran mencicipi makanan itu. Ah dorongan mencicipi tidak dahsyat dan bungkusan itu diletakkan kembali. Di konter minuman dingin, ada berbagai jenis yoghurt dan susu kedelai, sebagian merupakan produk Bandung. Akhirnya pulang dari Griya, saya bawa pepaya dan susu kedelai rasa peach dan semangka produk Cimory. Produk seperti ini belum pernah saya temui di Jakarta, pasti karena kurang ngider! Sesampai di rumah saya menyesal beli hanya masing-masing satu botol susu kedelai itu. Rasanya juara, bikin ketagihan.
Sore hari, tetangga depan rumah mengantarkan kotak yang dimasukkan dalam kresek putih. Sambil lalu, intip isi kresek. Wah, awuuuug! Di kotaknya ada tulisan Awug Metro. Ini makanan kebangsaan rombongan penulis kalau gathering di Bandung. Awug yang ini juga dilengkapi side dish dengan warna yang mencolok.
Lengkap sudah. Walau tanpa rencana wiskul, dapat juga makanan enak.
Hayyyo, kapan ke Bandung lagi?
Mangga Manalagi |
Esok harinya, Adek koar-koar mau ke BMC, Bandoeng Melk Centrale. Ternyata tempat itu sudah jadi tempat favoritnya juga untuk minum-minum sehat dan enak. Tosss! Tapi rute dari sini menuju Jalan Aceh belum tahu. Butuh waktu untuk baca peta dan jalur angkot di sini. Menjelang sore, saya dan Adek naik angkot abu-abu jurusan Ciwastra-Cijerah dan disambung angkot Gede Bage-St. Hall. Turun di Jalan Aceh dan sambung jalan kaki dan menyeberang jalan ke BMC. Zebra cross di persimpangan tampak jelas dan pengendara di sini bersedia beri kesempatan untuk pejalan kaki menyeberang jalan, bahkan mereka berhenti sebelum zebra cross. Ah, senangnya!
Bandoeng Melk Centrale |
Banana Smoothie & Lychee Yoghurt |
Sore itu kami menghabiskan waktu hingga maghrib. Nah, giliran pulang, mulai deh pusing jilid berikutnya. Jalur angkot di Bandung mutar, tidak melulu melalui jalan yang sama. Tunggu sepuluh menit di pinggir jalan, membaca lagi rute angkot yang lewat, akhirnya saya melambaikan tangan pada kendaraan warna biru. Angkot? Tentu bukan!
Ketika taksi memasuki kompleks perumahan dari jalan Soekarno-Hatta, saya berpesan ke Adek untuk memberitahu arah ke pak sopir taksi. Adek dengan santai menjawab: Aku belum apal. Walah! Untung bermodalkan nama jalan, pak sopir bisa mengantar kami di depan rumah. Enggak pakai mutar-mutar di dalam kompleks.
Soy Milk: Peach (Cimory) |
Sore hari, tetangga depan rumah mengantarkan kotak yang dimasukkan dalam kresek putih. Sambil lalu, intip isi kresek. Wah, awuuuug! Di kotaknya ada tulisan Awug Metro. Ini makanan kebangsaan rombongan penulis kalau gathering di Bandung. Awug yang ini juga dilengkapi side dish dengan warna yang mencolok.
Awug Metro |
Lengkap sudah. Walau tanpa rencana wiskul, dapat juga makanan enak.
Hayyyo, kapan ke Bandung lagi?
Monday, September 14, 2015
Oreo Cheesecake tanpa Creamcheese
Oreo cheesecake dengan lapisan keju yang tipis, sesuai pesanan. |
Bahan A:
8 Biskuit Oreo, sisihkan lapisan gulanya
50 gr Keju parut
10 gr mentega, lelehkan
Bahan B:
100 gr keju parut
200 ml susu
20 gr gula pasir
Lapisan gula biskuit Oreo
Meses
Cara buat:
Haluskan biskuit Oreo.
Campur bahan A, tuang ke dalam pinggan/mangkok saji dan ratakan.
Masukkan pinggan bahan A ke dalam kulkas.
Didihkan bahan B dan tuang ke dalam pinggan bahan A.
Taburkan meses secukupnya.
Masukkan pinggan ke dalam kulkas selama 4 jam.
Monday, September 7, 2015
JATIM PARK 1 DAN MUSEUM BAGONG
Hari kedua di Batu dimulai penuh semangat. Bagaimana tidak, rencana kunjungan yang amat panjang. Setelah sarapan di hotel, kami memulai perjalanan (benar-benar jalan kaki) sekitar lima belas menit menuju Jatim Park Satu. Kalau kemarin kami belok kiri dari hotel ke Museum Angkut, kini kami belok kanan.
Petugas penjual secara aktif mendatangi pengunjung yang baru tiba di lokasi dan menawarkan tiket masuk. Ini benar-benar menghemat waktu dan tenaga pengunjung, dibandingkan harus pergi ke loket yang ada di sisi kanak. Petugas itu juga menyampaikan promo tiket terusan untuk beberapa lokasi di Jatim Park sekaligus dengan diskon yang bagus. Tertarik membeli tiket terusan, saya di ajak ke loket pembelian. Di dalam loket ada petugas yang menjelaskan keuntungan tiket terusan yang berlaku selama dua hari dan batasan-batasannya. Ia juga memberi saran lokasi yang patut dikunjungi di hari pertama dan hari kedua.
Selain itu juga tersedia wahana outdoor dengan berbagai pilihan. Di dekat jalan masuk, tertulis ketentuan seperti batas tinggi badan, usia dan berat badan. ketentuan seperti ini yang menyebabkan Ari dan Adek tidak bisa sama-sama menikmati beberapa wahana. Selisih tinggi, berat badan dan usia mereka cukup banyak, yang satu murid kelas lima, yang satunya lagi mahasiswa tingkat satu.
Mendekati pintu keluar, ada bagian agro. Nah dibagian ini Ari dan Adek banyak protes karena tanaman yang ditampilkan tidak menunjukkan tingkat kesehatan yang prima. Daun kuning dan kering dan batang pohon kurus.
Toilet tersebar di beberapa tempat dengan petunjuk yang jelas. Mesjid juga tersedia dengan kebersihan terjaga. Tempat duduk juga banyak disediakan, lumayan untuk meluruskan dengkul dan mengendurkan otot betis. Huaaa. Untuk makan siang pun, tidak perlu ke luar lokasi karena di sana tersedia tempat untuk membeli makanan. Jadi, bisa deh, seharian di sini. Eh, ampe jam tutup aja, maksudnya.
Jalan keluar dari Jatim Park Satu ini sangat melatih kesabaran, berbelok-belok melewati pertokoan. Untuk yang berniat belanja-belanji pasti menyenangkan. Jalan sambil melihat-lihat barang belanjaan. Tapi untuk pengunjung dengan keterbatasan waktu seperti kami, jalan berliku diantara pertokoan ini membuat hati menjerit. Capek booo!
Tiba di pelataran, kami didekati petugas. ia dengan ramah menunjukkan Museum Bagong yang tampak jelas dari pelataran. Patung Bagong di sebelah depan bangunan sangat atraktif, seakan melambai-lambaikan tangan mengajak masuk. Tiket masuk museum ini sudah termasuk tiket terusan.
Di bagian depan kami dihadapkan dengan gigi raksasa yang terlepas dari rahang. Hahaha, ini tempat penjualan makanan dan 'gigi-gigi' tadi berfungsi sebagai tempat duduk. Lagi-lagi, Ari seperti tidak bisa melewatkan tempat ini begitu saja. Kudu mampirlah, kunyah satu barang dua makanan.
Untuk melihat koleksi di Museum Bagong, pengunjung masuk ke dalam lift. Ada petugas yang mengarahkan, sehingga alur jalannya pengunjung teratur, tidak akan melewatkan satu galeri tanpa sengaja.
Apa isinya museum bagong? Ya, isi badan manusia lah, dilengkapi dengan alat bantu visual. Juga ada petugas yang menjelaskan cara kerja organ tubuh manusia. Lagi-lagi di sini banyak bagian yang bisa dijadikan bahan ajar interaktif.
Ada satu ruangan yang dijaga petugas. Hanya pengunjung yang telah berusia 18 tahun yang boleh masuk. Dengan meninggalkan Adek di luar, dekat petugas, saya dan Ari masuk ke dalam ruangan tertutup itu. Isinya organ manusia yang ditampilkan apa adanya. Ada otot yang terburai, isi rongga dada. Menurut petugas, koleksi ini merupakan organ manusia yang diawetkan, bukan replika. Buru-buru saya mentowel Ari dan bilang, "Uncu tunggu di luar." Dan keluarlah saya! Aih, saya tidak tega.
Menjelang akhir ngider di Museum Bagong, kami masuk ke ruang pemeriksaan. Di sini pengujung bisa memeriksa tekanan darah, mata, kadar gula, dan lain-lainnya tanpa membayar. Saat itu, hanya Adek saja yang mau memeriksakan matanya dan ternyata ia sudah harus menggunakan kaca mata minus. Waks.
Keluar Museum Bagong, hari sudah sore. Angin bertiup lembut, tapi terasa dingin. Ketika menuruni tangga, Ari dengan cekatan mengarahkan saya dan Adek ke tempat penjual bakso. Hanya seorang yang berjualan bakso, tapi pembelinya banyak. Antri deh menunggu pesanan datang. Baksonya memang enak, dagingnya empuk dan gurih. Kuahnya bening dan tidak berlemak. Memang menyenangkan makan baksa hangat di dalam udara dingin seperti itu. Enggak rugi sampai menunggu lama.
Selanjutnya kemana? Kembali ke hotel? Oh, belum. Masih ada satu lokasi lagi yang perlu dikunjungi. :)
Petugas penjual secara aktif mendatangi pengunjung yang baru tiba di lokasi dan menawarkan tiket masuk. Ini benar-benar menghemat waktu dan tenaga pengunjung, dibandingkan harus pergi ke loket yang ada di sisi kanak. Petugas itu juga menyampaikan promo tiket terusan untuk beberapa lokasi di Jatim Park sekaligus dengan diskon yang bagus. Tertarik membeli tiket terusan, saya di ajak ke loket pembelian. Di dalam loket ada petugas yang menjelaskan keuntungan tiket terusan yang berlaku selama dua hari dan batasan-batasannya. Ia juga memberi saran lokasi yang patut dikunjungi di hari pertama dan hari kedua.
Dengan gelang plastik sebagai tanda tiket terusan, kami masuk ke Jatim Park Satu. Tampilan pertama lebih mirip Taman Mini Indonesia Indah dalam bentuk super miinya, bertbagai anjungan rumah adat dan baju tradisional mereka. Membosankan, tapi jangan berhenti di situ. Lanjutkan ke lokasi berikutnya yang merupakan galeri sains, mengenai biologi, fisika dan kimia. Galeri ini ditampilkan sedemikian rupa sehingga pengunjung terlibat dalam berbagai aktivitas, tidak sekadar melihat. Mengikuti jalur yang sudah ditentukan, kami melihat diorama yang menggambarkan sejarah.
Selain itu juga tersedia wahana outdoor dengan berbagai pilihan. Di dekat jalan masuk, tertulis ketentuan seperti batas tinggi badan, usia dan berat badan. ketentuan seperti ini yang menyebabkan Ari dan Adek tidak bisa sama-sama menikmati beberapa wahana. Selisih tinggi, berat badan dan usia mereka cukup banyak, yang satu murid kelas lima, yang satunya lagi mahasiswa tingkat satu.
Mendekati pintu keluar, ada bagian agro. Nah dibagian ini Ari dan Adek banyak protes karena tanaman yang ditampilkan tidak menunjukkan tingkat kesehatan yang prima. Daun kuning dan kering dan batang pohon kurus.
Toilet tersebar di beberapa tempat dengan petunjuk yang jelas. Mesjid juga tersedia dengan kebersihan terjaga. Tempat duduk juga banyak disediakan, lumayan untuk meluruskan dengkul dan mengendurkan otot betis. Huaaa. Untuk makan siang pun, tidak perlu ke luar lokasi karena di sana tersedia tempat untuk membeli makanan. Jadi, bisa deh, seharian di sini. Eh, ampe jam tutup aja, maksudnya.
Jalan keluar dari Jatim Park Satu ini sangat melatih kesabaran, berbelok-belok melewati pertokoan. Untuk yang berniat belanja-belanji pasti menyenangkan. Jalan sambil melihat-lihat barang belanjaan. Tapi untuk pengunjung dengan keterbatasan waktu seperti kami, jalan berliku diantara pertokoan ini membuat hati menjerit. Capek booo!
Tiba di pelataran, kami didekati petugas. ia dengan ramah menunjukkan Museum Bagong yang tampak jelas dari pelataran. Patung Bagong di sebelah depan bangunan sangat atraktif, seakan melambai-lambaikan tangan mengajak masuk. Tiket masuk museum ini sudah termasuk tiket terusan.
Di bagian depan kami dihadapkan dengan gigi raksasa yang terlepas dari rahang. Hahaha, ini tempat penjualan makanan dan 'gigi-gigi' tadi berfungsi sebagai tempat duduk. Lagi-lagi, Ari seperti tidak bisa melewatkan tempat ini begitu saja. Kudu mampirlah, kunyah satu barang dua makanan.
Untuk melihat koleksi di Museum Bagong, pengunjung masuk ke dalam lift. Ada petugas yang mengarahkan, sehingga alur jalannya pengunjung teratur, tidak akan melewatkan satu galeri tanpa sengaja.
Apa isinya museum bagong? Ya, isi badan manusia lah, dilengkapi dengan alat bantu visual. Juga ada petugas yang menjelaskan cara kerja organ tubuh manusia. Lagi-lagi di sini banyak bagian yang bisa dijadikan bahan ajar interaktif.
Ada satu ruangan yang dijaga petugas. Hanya pengunjung yang telah berusia 18 tahun yang boleh masuk. Dengan meninggalkan Adek di luar, dekat petugas, saya dan Ari masuk ke dalam ruangan tertutup itu. Isinya organ manusia yang ditampilkan apa adanya. Ada otot yang terburai, isi rongga dada. Menurut petugas, koleksi ini merupakan organ manusia yang diawetkan, bukan replika. Buru-buru saya mentowel Ari dan bilang, "Uncu tunggu di luar." Dan keluarlah saya! Aih, saya tidak tega.
Menjelang akhir ngider di Museum Bagong, kami masuk ke ruang pemeriksaan. Di sini pengujung bisa memeriksa tekanan darah, mata, kadar gula, dan lain-lainnya tanpa membayar. Saat itu, hanya Adek saja yang mau memeriksakan matanya dan ternyata ia sudah harus menggunakan kaca mata minus. Waks.
Keluar Museum Bagong, hari sudah sore. Angin bertiup lembut, tapi terasa dingin. Ketika menuruni tangga, Ari dengan cekatan mengarahkan saya dan Adek ke tempat penjual bakso. Hanya seorang yang berjualan bakso, tapi pembelinya banyak. Antri deh menunggu pesanan datang. Baksonya memang enak, dagingnya empuk dan gurih. Kuahnya bening dan tidak berlemak. Memang menyenangkan makan baksa hangat di dalam udara dingin seperti itu. Enggak rugi sampai menunggu lama.
Selanjutnya kemana? Kembali ke hotel? Oh, belum. Masih ada satu lokasi lagi yang perlu dikunjungi. :)
Sunday, September 6, 2015
MUSEUM ANGKUT
Setelah meletakkan koper dan barang bawaan lainnya di hotel, saya, Ari dan
Adek berjalan kaki menuju Museum Angkut. Berdasarkan google maps, lokasi museum
itu hanya sekitar sepuluh menit jalan kaki dari hotel. Jalan di siang
hari bolong, di bawah teduhnya pohon-pohon besar. Apa rasanya? Enak-enak aja
tuh *nyengir*. Apalagi sepanjang perjalanan, kami bisa menikmati pemandangan indah.
Petunjuk arah sangat jelas, sehingga tampak loket yang musti didatangi. Kami langsung disambut dengan senyum manis petugas loket Museum Angkut yang sangat informatif, menyebutkan fasilitas dan promo yang ada, termasuk diskon jika memiliki boarding pass Garuda. Huaaa, langsung tangan menyelup ke dalam tas dan bongkar-bongkar isinya. Akhirnya ditemukanlah tiga boarding pass itu di dalam tas, terlipat dan terhimpit komik dan dompet. Alhamdulillah. Padahal biasanya boarding pass langsung dibuang setibanya di kota tujuan. Rejeki emang enggak kemana.
Museum Angkut terdiri dari dua lantai. Koleksi museum di lantai satu terdiri dari berbadai sepeda, sepeda motor dan mobil, termasuk motor dan mobil balap. Juga ada miniatur kendaraan-kendaraan yang disimpan dalam lemari kaca. Di lantai dua, koleksinya juga tidak kalah menarik. Tidak hanya barang-barang koleksi, informasi mengenai alat transportasi juga disajikan dengan cara yang menarik dan mudah dimengerti. Di bagian luar ada bangunan yang menyerupai roket dan pengunjung bisa masuk ke dalamnya. Walau ditunggu sampai sepuluh abad, roket itu tidak akan meninggalkan landasan. Jadi enggak usah nunggu deh.
Di sebelah dalam, pengunjung bisa melihat berbagai macam gerobak kayu. Bentuknya sangat variatif, sesuai daerah asalnya. Ada perahu dan mobil listrik-nya Dahlan Iskan yang penyok itu (eh, apa ini replika ya?). Di lantai yang sama, terdapat berbagai permainan interaktif seperti menentukan suara kendaraan, kecepatan kendaraan, dll. Permainan ini bisa mengasikkan untuk remaja 17 tahun dan anak umur 10 tahun.
Setelah jalan yang menurun, di bagian luar ada movie star studio, lokasi yang bersetting tempo doeloe dan luar negeri, ada bangunan-bangunan unik ala Eropa dan Jakarta dulunya. Ada juga Pasar Apung yang menyediakan berbagai jenis suvenir makanan. Untuk menikmatinya, tentu saja pengunjung musti beli. Di salah satu kios, saya menemukan yoghurt yang enak banget. Eh, bukannya semua yoghurt itu enak yak? :D
Kunjungan hari pertama dicukupkan sampai malam hari. Setelah puas melihat-lihat, perut kenyang dan kaki pegal, kami berjalan kembali ke hotel. Udara dingin membuat langkah kaki semakin cepat dan semakin cepat, terlebih dengan jalanan yang menurun.
Petunjuk arah sangat jelas, sehingga tampak loket yang musti didatangi. Kami langsung disambut dengan senyum manis petugas loket Museum Angkut yang sangat informatif, menyebutkan fasilitas dan promo yang ada, termasuk diskon jika memiliki boarding pass Garuda. Huaaa, langsung tangan menyelup ke dalam tas dan bongkar-bongkar isinya. Akhirnya ditemukanlah tiga boarding pass itu di dalam tas, terlipat dan terhimpit komik dan dompet. Alhamdulillah. Padahal biasanya boarding pass langsung dibuang setibanya di kota tujuan. Rejeki emang enggak kemana.
Museum Angkut terdiri dari dua lantai. Koleksi museum di lantai satu terdiri dari berbadai sepeda, sepeda motor dan mobil, termasuk motor dan mobil balap. Juga ada miniatur kendaraan-kendaraan yang disimpan dalam lemari kaca. Di lantai dua, koleksinya juga tidak kalah menarik. Tidak hanya barang-barang koleksi, informasi mengenai alat transportasi juga disajikan dengan cara yang menarik dan mudah dimengerti. Di bagian luar ada bangunan yang menyerupai roket dan pengunjung bisa masuk ke dalamnya. Walau ditunggu sampai sepuluh abad, roket itu tidak akan meninggalkan landasan. Jadi enggak usah nunggu deh.
Di sebelah dalam, pengunjung bisa melihat berbagai macam gerobak kayu. Bentuknya sangat variatif, sesuai daerah asalnya. Ada perahu dan mobil listrik-nya Dahlan Iskan yang penyok itu (eh, apa ini replika ya?). Di lantai yang sama, terdapat berbagai permainan interaktif seperti menentukan suara kendaraan, kecepatan kendaraan, dll. Permainan ini bisa mengasikkan untuk remaja 17 tahun dan anak umur 10 tahun.
Setelah jalan yang menurun, di bagian luar ada movie star studio, lokasi yang bersetting tempo doeloe dan luar negeri, ada bangunan-bangunan unik ala Eropa dan Jakarta dulunya. Ada juga Pasar Apung yang menyediakan berbagai jenis suvenir makanan. Untuk menikmatinya, tentu saja pengunjung musti beli. Di salah satu kios, saya menemukan yoghurt yang enak banget. Eh, bukannya semua yoghurt itu enak yak? :D
Kunjungan hari pertama dicukupkan sampai malam hari. Setelah puas melihat-lihat, perut kenyang dan kaki pegal, kami berjalan kembali ke hotel. Udara dingin membuat langkah kaki semakin cepat dan semakin cepat, terlebih dengan jalanan yang menurun.
Subscribe to:
Posts (Atom)