Obrolan renyah dengan Tari tentang lentog, nama makanan,
akhirnya berlanjut dengan rencana kunjungan ke Kudus. Sebenarnya, kalau
diingat-ingat beberapa tahun ke belakang, saya pernah berencana ke Kudus ketika
masih menjadi pegawai dengan jam kerja delapan sampai patgo (jam empat langsung
go). Alhamdulillah, tertunaikan.
Kudus. Kudus. Kudus. Mengapa Kudus? Nama itu seperti punya
magnet tersendiri. Ketika Tari, teman jalan, menanyakan lokasi dan makanan yang
mau dicoba, saya sama sekali blank. Itu karena daya tarik kunjungan hanya
berdasarkan nama. Begitulah kekuatan nama.
Dan ketika kunjungan ke Kudus terjadi, salah satu tempat yang menjadi tempat pijak ialah Museum Kretek. dari penginapan, kami diantar abang becak yang sepertinya mengenal Tari cukup baik. Pagar museum
mengelilingi halaman yang luas, ditumbuhi rumput dan pohon mangga. yang sedang berbuah lebat, pula.
Bangunan museum terletak di bagian
tengah, sedangkan di sisi kanan terdapat rumah adat Kudus yang terbuat dari
kayu, dihiasi ukiran. Saya terus terang bingung kaitan antara rumah
adat Kudus dengan museum kretek. Pasti somewhere ada penjelasan logis mengenai penempatan rumah adat Kudus di areal Museum Kretek.
Setelah membayar tiket masuk seharga dua ribu rupiah per orang, saya langsung melihat lampu, kayaknya sih kristal yang digantung di tengah-tengah ruangan. Museum ini diresmikan tahun 1986 oleh Soepardjo Roestam yang ketika itu jabat sebagai gubernur Jawa Tengah. Pembangunan museum ini terinspirasi dari pesatnya perkembangan rokok kretek di Kudus yang menggerakkan perekonomian warga.
Ada juga foto-foto pengusaha rokok kretek yang pernah jaya di Indonesia, termasuk Nitisemito pemilik pabrik Bal Tiga. Sejarah pengusaha ini dijelaskan rinci. Dokumentasi tentang perkembangan pabrik rokoknya juga lengkap.
Hmm, satu pertanyaan yang menggelitik: apakah ketika itu sudah ada kesadaran tentang dampak rokok?
No comments:
Post a Comment