Ketenangan desa Bulili, Sulawesi Tengah mendadak terusik. Beberapa laki-laki berbadan tegap dengan suara langkah yang dapat memecahkan gendang telinga, masuk ke desa. Mereka memakai seragam istana. Tujuan mereka hanya satu—mencari rumah Moro.
Penduduk
desa yang ramah mengantarkan lelaki berseragam itu hingga depan rumah Moro.
Kedua
orang tua Moro menyambut tamu berseragam itu dengan ramah. “Silakan masuk.”
Satu
persatu, tamu itu masuk ke dalam rumah Moro dan duduk berbaris, mirip ujung
sisir. “Kami utusan Raja Sigi,” kata ketua utusan raja memperkenalkan diri.
“Kami datang ke sini membawa amanat mulia dari raja.”
Orang
tua Moro saling berpandangan.
Tanpa
menunggu lama, ketua utusan raja melanjutkan, “Raja Sigi ingin melamar Moro.”
Kali
ini orang tua Moro terlonjak kaget. Untung saja kepala mereka belum sampai
membentur langit-langit rumah. “Eh, melamar, Pah?” bisik ibunya Moro sambil
mencolek suaminya. “Tapi kan enggak bisa begitu saja, Pah,”
“Iya,
Mah,” bisik bapaknya Moro. Ia membetulkan posisi duduknya. “Mau melamar Moro?”
tanyanya kepada ketua utusan.
Seluruh
utusan raja mengangguk dan mengucapkan kalimat secara bersamaan. “Raja Sigi
ingin melamar Moro. Titik.”
“Hmm,
hmm.” Suara bapaknya Moro terdengar penuh wibawa. “Kami harus bahas lamaran ini
dengan Tadulako Bulili. Mohon tunggu sebentar.”
Desa Bulili memiliki panglima perang yang disebut juga tadulako. Mereka terdiri dari tiga orang, Bantaili, Makeku dan Molove. Ketiganya bertugas menjaga keamanan desa.
Setelah
dijemput oleh kerabat, tiga tadulako tiba di rumah Moro. Mereka segera terlibat
dalam diskusi mengenai lamaran Raja Sigi. Diskusi berjalan lancar dan mereka
sepakat menerima lamaran Raja Sigi.
Kabar
bahagia ini segera disampaikan kepada Raja Sigi. Acara pernikahan disusun
sempurna. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Penduduk desa Bulili mendoakan
kebahagiaan Moro dan Raja Sigi. Sejak saat itu, Raja Sigi menetap di desa
Bulili.
Sayangnya,
setelah beberapa bulan menikah, Raja Sigi dan Moro menghadapi masalah. Mereka
sering berbeda pendapat. Raja Sigi memutuskan kembali ke istana Sigi. Moro yang
sedang hamil, menetap di desa Bulili.
Mengetahui
kepergian Raja Sigi, tadulako segera menghubungi Moro. “Ada apa, Moro?” tanya
tandulako.
Moro
menjelaskan masalah yang dihadapi. Suaminya sudah lama pergi dan belum kembali.
Moro juga mengkhawatirkan makanan untuk bayi laki-laki yang baru dilahirkannya.
Akhirnya
tadulako Bantaili dan Makeku pergi ke istana untuk menemui Raja Sigi.
“Hey,
kenapa ke sini?” tanya Raja Sigi dengan tangan di pinggang.
Tadulako
Bantaili dan Makeku kaget melihat perubahan sikap Raja Sigi yang menjadi kasar.
“Ada berita seru. Bayi Baginda sudah lahir. Lucu. Sehat. Pipinya warna merah
jambu,” kata Bantaili.
“Oke.
Sekarang kalian boleh pergi!” Raja Sigi membalikkan badan.
“Oh,
masa gitu aja, Baginda?” tanya Bantaili. “Kami butuh lumbung padi untuk bayi
Baginda.”
“Hahaha.”
Raja Sigi tertawa sambil memegang perutnya. “Enggak mungkinnn. Kalian pikir aku
bodoh? Pasti lumbung padi itu untuk penduduk Bulili yang sedang kelaparan.”
“Suwer,
Baginda.” Makeku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. “Lumbung padi itu
untuk bayi Baginda.”
“Huh,
angkat saja lumbung padi di belakang istana.” Raja Sigi tersenyum sinis. “Pasti
mereka enggak kuat angkat lumbung raksasa dan penuh padi itu,” gumam Raja Sigi.
Kedua
tadulako Bulili langsung menuju halaman belakang. Sambil berkonsentrasi,
Bantaili menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tenaga. Dengan sekali
hentakan, ia dapat mengangkat lumbung
padi itu dan membawanya pergi. Makeku mengikutinya dari belakang.
Melihat
hal itu, Raja Sigi kaget dan segera memanggil pengawalnya. “Pengawalll! Kejar
mereka!” Perintah Raja Sigi menggelegar.
Bantaili
dan Makeku mempercepat langkah. Di tepi sungai, Bantaili menguatkan pegangan
pada lumbung padi. Bantaili dan Makeku mengambil ancang-ancang sebelum
melompati sungai.
“Satu…
dua… tigaaa!”
Mereka berhasil melompat ke seberang
sungai, bahkan tidak ada satu butir padi yang jatuh dari lumbung. Keduanya
memang hebat, pantas mendapat empat jempol.
Pengawal
raja gagal melompati sungai dan kembali ke istana Sigi.
Suatu
hari tadulako Bulili mendapat undangan dari raja Sigi. Jamuan makan itu
diadakan di lokasi yang jauh dari desa Bulili. Ketiga tadulako datang bersamaan
dan duduk di samping Raja Sigi.
Ketika
jamuan makan berlangsung, Makeku tampak merenung sehingga Bantaili dan Molove
mendatanginya.
“Kenapa?”
tanya Bantaili.
“Rasanya
ada yang enggak beres,” bisik Makeku. “Pulang aja yuk?”
Ketiga
tadulako segera kembali ke desa Bulili dan melihat pengawal istana Sigi sedang
membakar desa Bulili. Pengawal lainnya sedang menggiring penduduk desa Bulili ke
Sigi.
Ketiga tadulako bekerja sama
melawan pengawal dan menghentikan kobaran api. Mereka juga membawa penduduk
kembali ke desa Bulili. Sejak itu Raja Sigi tidak lagi berani mengganggu desa
Bulili.
*diceritakan kembali
No comments:
Post a Comment