“Tumben
ada anak ayam di sini,” kata Giana sambil menunjuk dua anak ayam berbulu kuning
yang berjalan di tepi sungai.
“Eh, jangan diganggu. Nanti
emaknya…,” kata Hatie.
“Emaknya?” potong Giana cepat.
Induknya kaliiii.”
“Iya, induknya,” kata Hatie
mengoreksi. “Induknya nanti marah.”
“Tapi mana induknya?” Giana
meletakkan tangkai pancingnya dan berdiri. Badannya berputar-putar melihat ke
sekeliling. “Enggak ada induk ayam.”
Hatie menarik mata kail dari sungai.
Ia kemudian berdiri di dekat Giana. Ia juga mencari induk ayam. Telapak
tangannya diletakkan di atas alis untuk menghalangi cahaya matahari ke mata.
“Eh, iya,” kata Hatie.
“Ini pasti anak ayam yang tertinggal dari induknya.”
“Punya siapa, ya?” tanya Hatie.
“Itu pasti anak ayamnya Bu Fitri,”
tebak Giana.
“Tahu darimana?”
“Yang punya peternakan ayam di
sekitar sini kan hanya Bu Fitri,” jawab Giana. “Lagian, aku pernah lihat anak
ayam Bu Fitri berbulu kuning.”
Hatie tertawa. “Warna anak ayam
memang banyak yang seperti itu. Belum ada anak ayam yang berwarna hijau atau
ungu.”
“Kita tangkap, yuk?” ajak Giana
sambil membereskan peralatan mancingnya.
Hatie menatap Giana dengan heran.
“Buat apa?” Selengkapnya baca di ...
Judul: Anak Ayam Lagi
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 07 Tahun XLII 22 Mei 2014
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 07 Tahun XLII 22 Mei 2014
No comments:
Post a Comment