“Besok mancing, yuk?” ajak Abdul
saat jam istirahat sekolah. “Ikan di sungai dekat rumah Pak Lurah besar-besar.
Kemarin aku lihat ada yang dapat sebesar ini.” Abdul menunjukkan pangkal
lengannya. “Mana tempatnya adem. Ada pohon jambu besar.”
“Aku ikut,” jawab Arif cepat. “Nanti
kubuatkan umpan yang manjur. Sekali nyemplung, tuh umpan pasti langsung dilahap
ikan.”
Krisna tidak berkomentar.
Abdul dan Arif saling berpandangan.
“Ikut, enggak?” tanya Arif sambil menyikut lengan Krisna.
Krisna menarik napas panjang sebelum
menjawab. “Mau sih. Tapi pancingku patah,” jawab Krisna pelan.
“Beres. Kamu pakai pancingku saja.
Aku punya tiga,” kata Abdul.
Hari Kamis besok, mereka tidak
sekolah karena tanggal merah, perayaan hari Isra Mi’raj. Mereka bertiga
melanjutkan rencana memancing esok hari hingga bel tanda akhir jam istirahat
berbunyi.
“Jadi besok kumpul di rumahku pagi.
Jangan telat,” kata Abdul kepada Arif dan Krisna sembari jalan menuju kelas.
“Beres!” teriak Arif dan Krisna,
menuju bangku masing-masing.
Menjelang akhir jam pelajaran agama,
Pak Iskandar membagi murid-murid ke dalam kelompok. Setiap kelompok terdiri
dari tiga murid. Abdul, Arif dan Krisna berada dalam satu kelompok. Tetapi sama
seperti murid lainnya, mereka bingung.
“Kita mau dikasih tugas apa sih?”
bisik Arif.
Krisna mengangkat bahu. Jari
telunjuk ia letakkan di depan mulut, meminta Arif diam.
“Anak-anak,” kata Pak Iskandar.
“Besok hari Isra Mi’raj. Banyak mesjid dan musola yang mengadakan ceramah. Tugas
kalian mendatangi mesjid yang di sekitar rumah dan mendengarkan ceramah. Kalian
catat ceramah itu dan kumpulkan hari Jumat.” Pak Iskandar memandang seisi
kelas. “Ada yang mau ditanyakan?”
Arif dan Krisna tertunduk lemas.
Sedangkan Abdul meninju-ninju ransel karena gemas.
Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi.
“Rencana kita gagal,” keluh Arif dalam perjalanan pulang bersama Abdul dan Krisna.
“Eh, siapa bilang?” seru Abdul. Matanya berkilat-kilat. “Kita tetap mancing
besok. Soal tugas dari Pak Iskandar, serahkan aku saja.” Abdul menepuk dadanya.
“Aku punya rencana sempurna.”
Esok hari, Arif dan Krisna menjemput Abdul di rumahnya. Selain perlengkapan
memancing, mereka juga membawa bekal makan siang. Sambil bernyanyi-nyanyi,
mereka menuju sungai.
Sampai di sungai, mereka melihat seorang pemancing, duduk di bawah pohon
jambu.
“Kita terlambat. Tempat favorit sudah terisi,” keluh Abdul. Mereka akhirnya
duduk di tempat yang terpapar sinar matahari langsung.
Abdul, Arif dan Krisna membongkar perlengkapan mancing. Arif dengan bangga
menunjukkan umpan yang ia buat. “Kok warnanya gitu sih?” tanya Krisna bergidik
karena jijik. Ia dan Abdul mengambil umpan milik mereka sendiri.
“Ini dari campuran kuning telur, cacing dan bahan rahasia lainnya.” Arif
tersenyum misterius. Ia memasang umpan pada mata kail.
“Apaan?” tanya Abdul dan Krisna bersamaan.
“Yeee, kan tadi sudah dibilang. Bahan rahasia. Tidak akan kuberi tahu.”
Arif melempar mata kail ke dalam sungai. Dan benar saja. Dalam hitungan
sepuluh, umpan Arif sudah dimakan ikan.
Melihat hasil pancingan Arif, Abdul dan Krisna mengganti umpan. Kini mereka
menggunakan umpan buatan Arif. Umpan buatan Arif benar-benar manjur.
Setelah masing-masing mendapat delapan ekor ikan, mereka memutuskan untuk
pulang. Mereka tidak tahan berjemur di bawah sinar matahari yang terik.
“Eh, besok bilang apa ke Pak Iskandar?” tanya Arif di perjalanan pulang.
“Iya. Dari tadi cuman bilang ‘rencana sempurna’. Apaan?” tanya Krisna.
Abdul tergelak. “Bilang saja ban sepeda kita bocor.”
Arif menepuk lengan Abdul. “Eh, seisi sekolah juga tahu kalau aku enggak
punya sepeda,” protes Arif.
“Kamu bonceng sepedaku. Jadi ban sepedaku dan sepeda Krisna yang bocor.
Selesai tambal ban, ceramahnya sudah bubar,” jelas Abdul.
“Nah itu baru rencana sempurna,” kata Arif mengangguk-angguk.
Baca cerita lengkap di majalah Bobo.
Judul: Rencana Sempurna
Penulis: Erna Fitrini
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 39 XLI 2 Januari 2014
No comments:
Post a Comment