Driyo melepas sandal jepit di depan
teras rumah Hengky, juragan burung yang kaya. Driyo berjingkat-jingkat, takut mengotori
lantai rumah. Dua meter sebelum sampai
di pintu, langkah Driyo terhenti. Pintu terbuka.
Hengky berdiri di depan pintu. “Mau apa?”
“Eh, itu…,” jawab Driyo takut-takut.
“Sana, lewat pintu belakang!” Hengky langsung menutup pintu depan.
Driyo berjalan mundur dan buru-buru
mengenakan kembali sandal jepit.
Setengah berlari ia menuju pintu belakang, melewati berpuluh-puluh
kandang burung.
Hengky sudah menunggu di dekat pintu
belakang. Kedua tangganya diletakkan di pinggang. “Mau apa sore-sore ke sini?”
“Eh, mau minta tolong.”
“Pinjam uang? Kapan mau dibayar?” Hengky mencibir.
“Oh, bukan, bukan,” jawab Driyo
cepat. “Beri saya pekerjaan. Saya perlu uang.” Suara
Driyo memelas. Tentu saja. Kebun
tomat miliknya mati karena hujan sudah lama tidak turun. Saat ini ia tidak punya uang untuk beli
makan.
“Hmm…” Mata
Hengky berkilat licik. Ia langsung
menyusun rencana. “Oke. Ikuti saya!”
Hengky menuju ke satu kandang yang terpisah jauh dari kandang-kandang
lainnya. “Hitung burung itu.” Hengky menunjuk ke burung-burung yang tampak
lemah.
“Sepuluh.”
“Betul,” kata Hengky. “Besok saya akan ke Depok. Jadi, kamu pelihara sepuluh burung itu besok. Pagi sampai sore.”
Driyo mengangguk-angguk. “Hmm, saya boleh minta upah di muka?” tanya
Driyo pelan. Ia tidak berani menatap
wajah Hengky.
“Ha ha ha! Aku tidak bodoh. Pasti kamu mau kabur dengan uang itu. Hahahaha…”
“Eh, bukan begitu…,” jawab
Driyo. “Saya lapar. Mau beli makanan.” Suaranya memelas.
“Upahmu dibayar besok. Limapuluh ribu,” jelas Hengky. “Tapi kalau jumlah burung itu berkurang,
upahmu dipotong. Sepuluh ribu untuk satu
burung yang hilang. Jelas?”
Muka Driyo berbinar, membayangkan
upah yang akan diterimanya esok. “Jelas…
jelas.”
“Ingat,
ketika saya kembali, di dalam kandang harus ada sepuluh burung,” Hengky
menegaskan.
Driyo mengangguk. Ya
iyalah, burung-burung itu tidak akan dijual…pikir Driyo.
Pagi-pagi sekali Driyo sudah berada
di dekat kandang burung. Ia membersihkan
kandang dan mengisi tempat makan dan minum.
Driyo mengambil enam ekor burung yang tampak lemas sekali. Ia menyendokkan air ke sela-sela paruh secara
bergantian. Burung-burung itu menggoyangkan kepala,
ucapkan terima kasih. Tetapi badan
mereka tetap saja lemas.
Siang hari, Driyo datang untuk
menambah makanan burung. Enam ekor burung
yang tadi dibantu minum, terbaring di dasar kandang. Mereka mati.
Driyo memperhatikan empat burung
lainnya. Mereka juga tampak lemas, tidak
memiliki tenaga untuk mengepakkan sayap.
Pasti mereka akan menyusul teman-temannya. Harus
cari obat, nih…, pikir Driyo.
Driyo mengumpulkan beberapa macam
daun yang berkhasiat mengobati burung yang lemas. Daun-daun itu dihancurkan dan dicampur dengan
air.
Tetapi Driyo terlambat sampai di kandang
burung. Sangat terlambat. Empat burung yang tadi lemas, sekarang mati.
Driyo memandang lemas kandang yang
kini berisi sepuluh bangkai burung. Bagaimana ini? Driyo duduk lemas di depan kandang burung,
hingga tidak mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
“Hah? Kenapa mati semua?” jerit Hengky.
Driyo menjelaskan kejadian yang
menimpa burung-burung itu.
Tetapi Hengky tidak mau mengerti.
“Kau harus
menggantinya!” kata Hengky ketus.
“Sepuluh ribu dikali sepuluh burung.
Total seratus ribu.”
“Darimana
saya punya uang sebanyak itu,” jelas Driyo.
“Lagipula burung ini sudah lemas ketika saya datang.”
“Tidak
mau tahu! Pokoknya, kamu harus ganti
seratus ribu.”
“Saya
enggak punya uang.”
Hengky
tidak habis akal. “Ayo, ikut! Kita ke Pak Kades, biar kamu dipenjara!”
“Jangan.
Saya minta maaf.” Tangan Driyo ditarik
Hengky menuju kantor Kepala Desa.
“Main
apa ini? Kok saya enggak diajak?” tanya
Pak Kades. Ia tersenyum melihat Driyo yang ditarik-tarik Hengky.
“Penjarakan dia, Pak Kades.”
Hengky menunjuk Driyo. “Dia
enggak mau bayar.”
“Jangan
buru-buru masuk penjara. Jelaskan dulu,” kata Pak Kades.
Dengan
berapi-api, Hengky menjelaskan semuanya.
Pak
Kades menatap Driyo. “Kamu diupah jaga
burung. Kenapa burungnya bisa sampai
mati?” Tanpa menunggu jawaban Driyo, Pak
Kades menoleh ke Hengky. “Apa
pesanmu sebelum pergi? Ketika kamu pulang, harus ada
sepuluh burung di dalam kandang. Betul?”
“Betul,
Pak Kades.”
“Di mana
burung-burung yang mati itu?” tanya Pak Kades.
“Masih
di sana. Di kandang,” jawab Driyo.
“Jadi sekarang ada sepuluh burung di dalam
kandang. Betul?” tanya Pak Kades kepada Hengky.
“Be… Betul,” jawab Hengky ragu.
“Sekarang
jelas. Driyo tidak perlu membayar ganti
rugi. Tapi Hengky harus membayar upah
Driyo.” Senyum Pak Kades semakin lebar. Senyum keberhasilan mengatasi kelicikan
Hengky. “Tunggu apa lagi? Ayo bayar upah Driyo!”
Dengan muka masam, Hengky terpaksa membuka dompet, lalu memberikan
upah Driyo.
Judul: Sungguh, Ada Sepuluh
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 13 XLI 4 Juli 2013