Sunday, March 31, 2013

Sendiri, Siapa Takut?

            “Tiket dan nomor telepon Tante Hati sudah di bawa?” tanya Ibu memastikan yang mungkin keseratus kali.
            Aku mengintip tiket dan catatan nomor telepon Tante Hati di dalam dompet kain.  “Sudah Bu.  Semua siap.” 
“Turun pesawat nanti, ikuti saja orang yang duduk di sampingmu.”
“Perlu kenalan, Bu?” tanyaku iseng. 
Ibu tidak mengomentari pertanyaanku.  “Kalau bingung, tanya petugas,” pesan Ibu.  Dan pesan ini juga sudah disampaikan berulang kali.
“Siiip, Bu.”  Aku mengangkat dua jempol.  Setelah mencium Ibu, aku melangkah menuju meja check-in yang tadi sudah ditunjukkan Ibu.    

Seharusnya, eh, sesuai rencana, Ibu menemaniku berlibur ke rumah Tante Hati di Padang.  Tetapi mendadak Ibu harus mendampingi klien yang akan sidang esok hari.  Sebagai pengacara, Ibu tidak bisa menolak. 
Ibu mengatur perjalananku.  Di pesawat nanti aku akan bertemu Tante Andriani, sahabat Ibu, yang bekerja sebagai pramugari.  Di bandara Minangkabau, aku akan dijemput oleh Tante Hati.  Gampang kan? 
Antrian di meja check-in agak panjang. Maklum, ini musim liburan.  Seorang petugas menyapa dan melayaniku dengan ramah.  Ia menyerahkan boarding pass, lalu menunjukkan ruang tunggu. 
Di kiri kanan, banyak ruangan yang bentuknya serupa. Ruang tungguku terletak di ujung koridor.  Kucocokkan sekali lagi nomor ruang tunggu di monitor dan nomor di boarding pass.  Hmm, enak juga pergi sendiri seperti ini.  Seru.    
“Hai, Giana!” sapa Tante Andriani di pintu pesawat.  “Hebat, kamu berani pergi sendiri.”
“Pertamanya sih enggak mau, Tante.  Takut,” jawabku pelan.  “Ternyata seru juga.  Ada deg-degannya.”
Tante Andriani tertawa.  “Sini, Tante bantu cari kursimu.”
“Nomor 8 F.”
Tante Andriani membantuku meletakkan ranselku ke lemari penyimpanan di atas tempat duduk.  “Kalau ada perlu, Giana bisa panggil Tante atau panggil pramugari lain.  Sekarang Tante tinggal dulu, ya.”
Aku duduk di kursi empuk yang agak kebesaran buatku.  Di sebelah kanan, ada jendela kecil yang menyorotkan sinar matahari pagi.  Dua kursi di sebelahku masih kosong.
Tak lama kemudian, dua orang perempuan yang sebaya Ibu duduk di kursi sebelahku.  Satu orang tersenyum dan satu orang lain hanya diam saja.  Tangan ibu itu sedikit gemetar ketika ia memasang sabuk pengaman.  Ia duduk di kursi tengah.
“Matahari terang, tapi tidak lama,” bisik ibu yang duduk di tengah.
Aku menoleh.  “Apa Tante?” tanyaku bingung.
Tapi ibu itu hanya menunjuk ke arah jendela kecil tanpa menjelaskan maksud kalimat tadi.  Butir-butir keringat membasahi mukanya.  Beberapa kali tangan kanannya gemetar.
“Tante sakit?” tanyaku cemas.  Kalau ia sakit, aku harus segera memanggil pramugari.
Ibu itu menggeleng pelan.  Sekali lagi ia melihat ke arah jendela dan menutup muka dengan kedua tangan.
“Silau ya, Tante?”  Aku hendak menutup jendela ketika kudengar jeritannya.
“Tidak, tidak!  Biarkan saja jendela itu terbuka.”
Gak usah jerit dong.  Bikin kaget aja.
Terdengar suara pramugari melalui pengeras suara.  Ia meminta penumpang mengenakan sabuk pengaman dan memberi penjelasan jika terjadi keadaan darurat. 
Pesawat mulanya bergerak pelan sekali, dan kemudian menambah kecepatannya.  Sekarang pesawat sudah berada di atas, jauh meninggalkan landasan.
Tiba-tiba tangan kiriku yang ada di pegangan kursi dicengkeram.  Ih, tangan ibu di sampingku ini basah.  Dengan susah payah, aku berhasil melepaskan tangan kiriku. 
Mukanya tegang.  Dengan tangan gemetar, ia mengambil majalah dari saku kursi.  Majalah itu hanya diletakkan di atas pangkuan, tanpa dibaca.  Kemudian ia meletakkan kepala di atas dengkul.
Tante ini kenapa, sih?  Aneh amat.  Tapi aku tidak berani tanya, takut ia menjerit lagi seperti tadi.
Beberapa menit setelah mengudara, pesawat berada di antara awan-awan putih yang tampak empuk seperti kapas.  Ah, andai jendela ini bisa di buka.  Lamunanku terhenti karena tiba-tiba aku merasa ada benda yang mengenai kepalaku. 
Masker oksigen jatuh dari tempat penyimpanannya secara otomatis.  Ini menunjukkan bahwa tekanan udara di dalam kabin pesawat berkurang.  Teriakan penuh kepanikan segera terdengar di seluruh pesawat. Aku menjadi panik dan napasku tersengal-sengal seperti sesak napas.
Ibu di sebelahku tiba-tiba mengangkat kepalanya dari lutut. “Ini hanya sebentar, kok. Kita akan selamat. Tenang, ya, Nak.”
Ibu itu tersenyum sambil membantuku memasang masker oksigen. Ah, ibu ini berusaha memberanikan dirinya agar aku tidak panik. Padahal, ia sendiri tadi panik sekali. Aku menyesal telah kesal padanya tadi.
 Sesaat kemudian, keadaan normal kembali. Aku menoleh pada ibu di sebelahku. Kuulurkan tangan, “Namaku Giana. Terima kasih, ya, Tante, sudah membantuku tadi,” ujarku sambil tersenyum manis.
“Nini! Panggil saja Tante Nini.” Ibu itu membalas senyumku.
Tante Nini. Ini teman baruku di penerbangan soloku yang pertama. Sungguh menyenangkan.


Judul: Sendiri, Siapa Takut?
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 50 XL 21 Maret 2013

No comments:

Post a Comment