“Kak, ibu kapan pulang?” tanya Andriana. Ia melirik jam dinding. Baru jam 6:10 menjelang malam, tetapi langit
sudah gelap sekali. Sebentar lagi, pasti
hujan lebat.
“Gak tau,” jawab
Ari pendek, tanpa mengangkat muka dari komik yang sedang dibacanya.
Sudah lebih dari tiga
jam ibu pergi ke rumah Tante Rahimi.
Andriana dan Ari tinggal berdua saja di dalam rumah.
Akhirnya
Andriana duduk di samping Ari. “Kok ibu
lama sekali?”
“Iya,”
jawab Ari. Dua halaman lagi Ari selesai
membaca komik. Ari tidak suka berhenti
membaca ditengah-tengah cerita.
Andriana
mengambil gagang telepon dan menghubungi nomor telepon Ibu. Tetapi tidak ada nada sambung. Andriana meletakkan gagang telepon ke tempat
semula dan kembali duduk di dekat jendela.
“Adek,
telepon Ibu?” tanya Ari sambil meletakkan komik berjudul Monster Pavo di atas meja.
Andriana
mengangguk. “Tapi gak bisa...”
“Hmm,
tadi Ibu bilang cuma pergi sebentar...,” gumam Ari. Ari terhenti ketika kilat tiba-tiba menyambar. Cahaya yang menyilaukan mata masuk melalui
jendela yang terbuka. Andriana
menjerit. Kepalanya disembunyikan di
bawah bantal. Tidak lama kemudian
terdengar suara guruh yang menggelegar. Kali
ini Andriana dan Ari menjerit bersamaan.
Air
hujan turun dengan lebat. Angin
menghempas-hempaskan daun jendela dan tirai.
Pelan-pelan, Ari mendekati jendela dan menutupnya. Tangan dan lengan bajunya basah terkena air
hujan. “Kak Ari mau telpon Ibu.”
“Ikuuuut,”
teriak Andriana sambil berpegangan di punggung Ari.
Ari
mengangkat gagang telepon, tetapi tidak ada nada sama sekali. “Gimana nih? Sekarang telpon kita yang mati.”
Andriana
tidak komentar. Ia terus memegangi
punggung kakaknya.
“Tirainya
sudah ditutup. Jadi kilat tidak akan
masuk ke sini,” kata Ari sambil mencoba melepaskan Andriana dari punggungnya. Tetapi tidak berhasil. Andriana memegang punggung Ari dengan
erat.
Tiba-tiba
terdengar lagi bunyi guruh yang menggelegar.
Rumah terasa bergetar. Dan,
listrik mati! Kali ini, Ari memeluk
Andriana. Ari pun takut. Matanya terpejam erat.
Setelah
beberapa saat, suasana kembali tenang.
Hanya terdengar bunyi rintik-rintik air hujan di teras.
“Pakai
lilin, Kak,” kata Andriana.
“Adek
yang ambil, ya?” bujuk Ari sambil mendorong pelan Andriana ke arah dapur.
“Gak. Adek takut.
Gelap. Kakak aja...”
Ari
menggeleng. “Kita di sini aja. Gak usah pakai lilin.” Ari juga tidak berani mengambil lilin yang
disimpan di lemari dapur. Pasti di dapur
juga gelap.
“Krreeekk
tak. BUM!” Terdengar suara dari luar rumah.
Andriana
terlompat, kaget. “Bunyi apa tuh?”
Ari
tidak menjawab. Walau bulu kuduknya
berdiri, Ari mendekati pintu. Ia ingin
tahu asal suara tadi. Tetapi angin terlebih
dahulu menghentakkan pintu yang tidak tertutup rapat. Sekarang pintu terbuka lebar. Cahaya kilat yang datang tiba-tiba
menampilkan bayangan gelap di depan pintu.
Besar sekali.
“Hiii...,
itu apa?” tanya Andrina.
“Ja...jangan...,”
teriak Ari mundur selangkah. Tetapi
bayangan gelap itu terus maju mendekati Ari.
Bulu
kuduk Andriana dan Ari berdiri. Mereka
memejamkan mata.
“Cut!”
teriak Om Heru, sutradara. Dan
lampu-lampu dihidupkan kembali.
Semua
asisten Om Heru bertepuk tangan.
“Baguuus... Tadi acting-nya bagus,” seru mereka.
“Wah,
lega... Shootingnya sudah selesai,” kata Ari tersenyum.
“Belum. Besok shooting
bagian terakhir. Di taman,” kata Om
Heru.
“Kok
Om lama sekali teriak cut? Aku tadi takut sekali,” protes Andriana.
“Ah,
masak takut dengan kilat dan guruh?
Mereka kan tidak bisa memarahimu.”
Andriana,
Ari dan seluruh asisten Om Heru tergelak, “ Hahahaha..."
Dimuat di BOBO 46 XXXIX 23 Februari 2012
Selalu suka dengan gaya tulisan Erna.
ReplyDeleteDuh kapan aku bisa seperti kamu ya.
lah, kagak kebalik apa yak? :D
ReplyDeleteNgintip cerpennya buat belajar :)
ReplyDeleteMa'acih Mbak Erna