Friday, June 10, 2011

Ketika Ibu di Pasar

“Duh, Ibu lama sekali di pasar...,” keluh Ari. Ia sudah selesai menggunting rumput di halaman. Hari ini ibu berjanji akan mengajarinya cara mencangkok pohon.

“Spada...spadaaa...” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah pagar. Seorang perempuan kurus, kecil dan berambut ikal. Tangan kirinya memegang dua bendera kecil, terbuat dari plastik.

“Siapa ya?” pikir Ari. Dia belum pernah melihat perempuan ini. Ari berjalan mendekati pagar. “Cari siapa?” tanya Ari ke perempuan itu.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia mendorong pintu pagar yang sudah dibuka setengah oleh Ari. Dia berjalan ke arah kursi yang terletak di teras dan berdiri di samping kursi.

Ari heran melihat perempuan ini. Dia pikir perempuan ini akan duduk, ternyata hanya berdiri saja. “Silakan duduk, Tante.”

Perempuan itu duduk sambil melambai-lambaikan bendera plastik.

“Tante siapa?” tanya Ari lagi.

Tamu itu hanya tersenyum manis.

“Tante temannya ibu?” tanya Ari lagi.

Kali ini tamu itu mengangguk-angguk.

“Tumben, ibu punya teman yang suaranya minimalis,” pikir Ari. Semua teman ibu yang Ari kenal, senang bercerita. Diperhatikannya perempuan itu dengan seksama. Satu hal yang paling menonjol dari perempuan ini adalah cara berpakaiannya yang semarak. Blus berwarna merah terang dipadu dengan rok semata kaki berwarna putih. Dipunggungnya terdapat dua lambang partai politik. Sepatunya berwarna merah dan ada dua garis putih menyilang di sisi kiri dan kanan. Kaos kakinya juga berwarna putih. “Dari jauh, pasti seperti bendera yang turun dari tiang,” pikir Ari sambil tersenyum.

Ehem, hm...” Perempuan itu menunjuk ke tenggorokannya.

“Maaf. Sebentar Tante,” kata Ari. Ari merasa bersalah karena lupa mengambilkan air minum untuknya. Dengan cepat Ari mengambil dua gelas air sirup dingin, satu untuk tamu dan satu lagi untuk dirinya.

Tamu itu tertawa melihat Ari datang dengan dua gelas sirup.

“Pasti dia haus sekali,” pikir Ari.

Tamu itu mengambil gelas yang baru diletakkan Ari dan menegak habis isi gelas. Kemudian gelas yang sudah kosong diletakkannya di bawah kursi.

“Kenapa gelas kosongnya diletakkan di bawah kursi? Seperti lagi di acara kendurian saja,“ pikir Ari.

Tamu itu berdiri dan mengibas-ngibaskan rok panjangnya. Berputar-putar. Ujung rok itu mengenai gelas yang diletakkan di lantai. Gelas itu terguling di lantai. Tamu itu tertawa.

Khawatir gelas itu akan pecah, Ari mengambil gelas itu dan meletakkannya di atas meja.

Tamu itu melihat Ari sambil membelalakkan mata. “Hey,” hardiknya keras.

Ari kaget. Raut muka tamu itu menakutkan. Ari menunduk. Ibu kenapa lama sekali sih?” pikir Ari.

Tiba-tiba tamu itu tertawa ramah.

Ari mengangkat muka dan tersenyum. Ah, Tante bikin kaget saja,” kata Ari.

Tamu itu tertawa ramah lagi.

“Permisi...”

Ari melihat ke arah pagar. Di sana ada sepasang laki-laki dan perempuan. Ari ingat. Mereka adalah Bapak dan Ibu Togar, tetangga ujung jalan yang baru pindah minggu lalu. “Silakan masuk..., kata Ari.

“Kami mau menjemput Kak Laura,” kata Bu Togar sambil menunjuk ke arah tamu yang sedang duduk di teras.

“Oh, Ibu kenal dengan dia? Dia temannya ibuku,” kata Ari.

Bu Togar menggeleng. “Dia saudara kami yang baru datang dari Medan. Dia sedang sakit,” jelas Bu Togar.

“Sakit apa?” tanya Ari heran. Setahunya orang sakit tidak akan kuat berjalan-jalan.

“Dia sedang stress. Jadi, dia lupa sekelilingnya,” kata Pak Togar sambil menggandeng tamu tadi untuk diajak pulang.

Ketika sampai di pintu pagar, tamu tadi tersenyum manis kepada Ari dan berkata, “Terima kasih.”

“Sama-sama,” jawab Ari sambil berlari ke dalam rumah. Ari menyesal telah membukakan pintu untuk orang yang tidak dikenalnya.

No comments:

Post a Comment