Pagi ini Tante Nada dan Ari duduk
mengantri di kantor agen perjalanan. Tante
Nada hendak membeli tiket penerbangan ke Medan.
Ari
mengeluarkan rubik dari dalam ransel kain yang ada di punggungnya. Dia memutar-mutar rubik tersebut beberapa
kali. Seorang anak laki-laki datang menghampirinya.
“Pinjam,
dong,” kata anak laki-laki itu.
“Boleh.” Ari memberikan rubik kepada anak laki-laki
itu.
Anak
laki-laki itu hanya melihat-lihat seluruh sisi rubik, tetapi tidak memutar satu
kali pun. “Aku Anggito.” Anggito mengulurkan tangan kanannya untuk
bersalaman.
“Ari.” Ari menyambut jabat tangan Anggito. Tangan Anggito terasa kasar.
“Mau
liburan ke mana?” tanya Anggito.
“Mungkin
ke kebun cokelat Rajamandala,” jawab Ari.
“Di mana
tuh?” tanya Anggito.
“Daerah
Jawa Barat...”
“Oh, aku
kira di luar negeri,” kata Anggito tertawa sambil memamerkan giginya yang putih
bersih. “Aku ingin liburan ke
Paris. Tuh, bapakku lagi mencari
informasi.” Anggito menunjuk ke arah
seorang bapak berbaju biru.
Bapak itu sedang berdiri di depan poster Opera House.
“Paris? Jauh amat.”
“Ya, iyalah... Tapi di sana kamu bisa lihat patung Liberty. Patungnya tinggi. Lebih tinggi daripada Monas.”
Tante Nada
yang duduk disamping Ari mengangguk-angguk tanda setuju.
“Kamu
suka ke museum?” tanya Anggito.
“Suka. Terakhir aku ke museum Buya Hamka, di dekat
Padang,” jawab Ari.
“Kalau
di Paris, kamu bisa jalan-jalan ke museum juga.
Di sana banyak museum. Yang terkenal museum Madame Tussaud,” lanjut Anggito
dengan bangga.
“Hah?” Ari terbelalak kaget. “Museum Madam Tussaud yang berisi
patung-patung lilin itu, kan?”
tanya Ari.
Anggito mengangkat bahu. “Aku belum pernah ke sana,” kata Anggito dengan pelan. “Ada
juga bangunan tinggi yang hampir rubuh…”
“Menara Pisa?” tanya Ari.
“Oh, iya. Namanya Menara Pisa.
Itu bangunan kuno. Dibangun waktu
Paris dijajah tentara Malaysia.”
“Hah? Salah tuh,” protes Ari.
“Apanya
yang salah?” tanya Anggito bingung.
“Menara
Pisa ada di Italia. Museum Madam Tussaud
ada di beberapa negara, tapi tidak ada di Paris. Malaysia juga tidak pernah menjajah Prancis,” Ari menjelaskan.
Anggito
menatap Ari dengan kagum. “Jadi di Paris
ada apa?” tanya Anggito perlahan.
“Menara
Eiffel,” jawab Ari.
“Kamu
sering jalan-jalan ke luar negeri?” tanya Anggito
Ari
hanya menggeleng. “Belum pernah. Semua itu ku baca di majalah.”
“Pantas
kamu tahu banyak.” Anggito
menunduk. “Bapakku tidak punya uang untuk membeli majalah…,” lanjut Anggito pelan.
Ari tersentak kaget. “Kamu
punya uang untuk berlibur ke Paris,
tetapi tidak punya uang untuk membeli majalah.
Aneh…”
“Eh,
aku memang ingin berlibur ke Paris,
tetapi tidak sekarang. Nanti. Kalau Bapak sudah punya cukup uang dari hasil
jualan sayur,” jawab Anggito tersenyum.
Gigi putihnya memantulkan cahaya lampu.
“Aku dan Bapak sering ke sini karena senang melihat poster-poster
itu.” Anggito menunjuk ke arah poster
yang bergambar tempat wisata terkenal di dunia.
“Ha ha ha ha,” Ari tertawa. “Ke rumahku saja. Kita bisa baca majalah sama-sama. Banyak gambarnya juga.” Ari mengambil secarik kertas dari dalam
ransel dan menuliskan alamat rumah.
Anggito menerima kertas itu dan
membacanya. “Aku tahu jalan ini.”
“Tinggal
cari nomor sebelas. Pagar biru. Besok siang, aku tunggu, ya!”
Anggito mengangguk-angguk senang.
Bobo 39 Tahun XXXIX 12 Januari 2012
No comments:
Post a Comment