Anas sudah menjawab seluruh soal ulangan ketika bel tanda istirahat berbunyi. Dia juga sudah memeriksa seluruh jawabannya. Jadi, ketika Bu Isnaniah mendatanginya, Anas bisa menyerahkan lembar jawabannya.
Farhan, yang duduk disampingnya mengomel pelan. “Huh, pasti nilaiku jelek. Semalam ku cuma belajar sebentar. Habis, PR matematika banyak sekali.”
“Hah? Emang ada PR matematika? Yang mana?” tanya Anas kaget.
“Halaman 27. Dari nomor satu sampai nomor sepuluh,” jawab Farhan sambil berjalan keluar mengikuti murid-murid lain. Hanya Anas yang berada di dalam kelas.
Anas buru-buru mengeluarkan buku pelajaran dan buku tulisnya dari dalam tas. Dibacanya petunjuk soal dengan hati-hati. Hmm, soal tentang luas dan keliling segitiga. Soal nomor satu sampai nomor tujuh dengan lancar dijawab. Tapi Anas mulai kesulitan mengerjakan soal nomor delapan dan seterusnya.
Diketahui alas segitiga siku-siku 6 cm dan sisi miringnya 10 cm, kemudian yang ditanya luas segitiga. Halah, gimana nih? Rumus luas segitiga kan setengah alas dikali tinggi. Kenapa hanya alasnya yang disebut, sedangkan tingginya tidak disebut? Anas menggaruk-garuk kepala. Diliriknya jam tangan. Lima menit lagi waktu istirahat habis. Terbayang wajah Pak Ronaldi yang marah ketika ada murid yang tidak mengerjakan tugas. Hiii, seram.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki gemuk melintas dan berdiri di sampingnya. “Nah, baru bikin PR ya?” tanya anak laki-laki itu meledek.
Anas belum pernah bertemu dengannya, mungkin ini murid baru di kelas sebelah. “Eh, kamu siapa?”
“Hahhaha, gak kenal ya? Dibyo. Juara lomba Matematika tahun lalu,” jawab Dibyo bangga.
Anas menyebutkan namanya. Dia memandang Dibyo sebentar. Hmm, Dibyo sama sekali tidak memiliki tampang seperti jago matematika. Tapi, coba aja deh, pikir Anas. “Bisa jawab soal nomor delapan?” Anas menggeser buku matematikanya. “Gimana hitungnya?” lanjut Anas.
“Sini aku lihat.” Dibyo membaca soal dengan cepat. “Ah, ini sih gampang.” Dibyo langsung menulis cara pemecahan soal nomor delapan di kertas terpisah. Tulisannya besar-besar dan naik-turun. “Cari tingginya pakai rumus Phytagoras.”
“Oh iya, Phytagoras!” seru Anas. “Baru inget. Trims, Dib.”
“Lain kali, ku bantu lagi kamu mengerjakan PR matematika di sekolah,” kata Dibyo sebelum berjalan ke luar kelas.
Anas mengangguk dan langsung mengerjakan tiga nomor yang terakhir dengan cepat. Tugas matematika selesai bersamaan dengan bunyi bel tanda jam istirahat berakhir.
Ketika membalik buku tugas milik Anas, Pak Ronaldi menemukan kertas yang tadi dipakai oleh Dibyo. “Ini tulisan siapa, Nas?” tanya Pak Ronaldi.
“Dibyo, Pak. Murid kelas sebelah,” jawab Anas.
“Di sini tidak ada siswa yang bernama Dibyo.” Pak Ronaldi mengerutkan kening sambil terus melihat tulisan di kertas.
“Gak ada yang nama Dibyo, Nas,” kata Farhan sambil menggeleng.
“Ada, Pak. Tadi dia ke sini. Katanya, dia pemenang lomba matematika tahun lalu,” kata Anas.
Pak Ronaldi tersenyum. “Sekolah ini belum pernah mengirimkan wakil untuk ikut lomba matematika, apalagi menjadi juaranya. Bapak harap tahun ini, kita bisa mengirimkan wakil untuk ikut lomba matematika.”
Anas tidak lagi memperhatikan kalimat Pak Ronaldi. Jadi siapa yang tadi membantuku? Apa anak tadi berbohong? Apa dia itu…? Ah, tidaaaaak! Anas ngeri membayangkan kemungkinan jelek.
Saat berdoa sebelum pulang, Anas menambahkan sebuah janji khusus, ”Aku akan mengerjakan seluruh PR di rumah. Aku tidak mau lagi dibantu oleh orang yang tidak jelas. Sungguh, aku kapok.”
No comments:
Post a Comment