Cerita yang baik adalah cerita yang sarat dengan pesan
moral. Ah, kata siapa? Cerita yang baik itu cerita yang seru dan menyenangkan.
Syukur-syukur cerita itu bisa mengajak kita berbuat kebaikan.
Bagaimana dengan cerita di bawah ini?
HANYA MINTA SATU SAJA
“Halo,
Bapak Irawan Hakim Siregar, ada?” tanya Anin.
Tangan kiri Anin memegang gagang telepon dan tangan kanannya
menunjuk satu nama di buku telepon.
“Ini siapa?” tanya suara laki-laki dari seberang. Di latar belakang, terdengar bunyi berbagai
macam mesin, seperti suasana di pabrik.
Ramai sekali.
“Anin.”
“Aming? Yang pemain film itu? Weleh-weleh, kejutan besar. Ada
apa, nih?” tanya laki-laki itu bersemangat.
“Ini Anin. Anin.”
Anin mengulang namanya lebih keras.
“Oh, bukan Aming. Iya…iya, saya sudah dengar, tidak perlu
teriak, Amin.”
Semula Anin ingin membetulkan
namanya, tetapi dia berubah pikiran. Ah,
biarlah. Anin meneruskan, “Bapak Irawan Hakim Siregar, ada?”
“Apa?”
Bunyi mesin-mesin itu terus saja terdengar
jelas. Suaranya menderu-deru. Anin membayangkan itu bunyi mesin penggiling
biji-bijian seperti yang pernah dilihatnya di televisi.
Anin
mengulang pertanyaan dengan suara keras.
Dalam hati dia berdoa, semoga Bapak ini tidak marah karena mengira Anin tidak
sopan.
“Iya…iya. Ini saya.
Dari mana kamu tahu nomor telepon ini?” tanya Pak Irawan.
Anin
menjelaskan bahwa sepulang sekolah dia menemukan dompet di pinggir
selokan. Di dalamnya ada KTP, SIM dan
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Berdasarkan
nama di KTP itu, Anin menemukan nomor telepon Bapak Irawan di buku petunjuk
telepon.
“Benar
itu. Iya…iya. Dompet saya hilang minggu lalu. Di mana rumah Amin?”
Setelah beberapa kali mengulang
dengan suara keras, Anin berhasil memberitahu Pak Irawan alamat rumahnya.
“Iya…iya. Sebentar saya datang,” janji Pak Irawan.
Dua jam kemudian, ketika Anin sedang
menyiram tanaman, Pak Irawan datang dengan mobil hitamnya yang mewah. Tiba-tiba Anin teringat pesan Farid, teman sekolahnya, “Jangan lupa minta
hadiah dari pemilik dompet ini.”
Setelah
berkenalan sebentar, Anin menyerahkan dompet hitam milik Pak Irawan. “Ini dompetnya, Pak. Semua ada di sini.”
Pak Irawan tersenyum lebar ketika
melihat dompetnya. “Iya…iya. Ini benar dompet saya.” Setelah memeriksa isinya, KTP, SIM dan STNK,
Pak Irawan merangkul bahu Anin erat.
“Terima kasih, Amin.”
“Nama saya Anin, Pak. Bukan Amin,” kata Anin sopan.
“Oh, Anin? Baik… baik.
Sekarang saya mau kasih Anin hadiah.
Anin mau hadiah apa?” Pak Irawan
menunggu jawaban Anin.
Walau pesan Farid terus
terngiang-ngiang, Anin menjawab sopan, “Ah, enggak.”
Ketika
Anin menjawab, sebuah bajaj melintas di depan rumah Anin. Suaranya bising sekali. Pak Irawan saja sampai menutup kuping dengan
tangannya.
“Mangga? Kamu mau mangga berapa?” tanya Pak Irawan. “Saya memang kerja di pabrik pengolahan
buah-buahan, untuk dijadikan minuman dan selai.
Di sana
ada bermacam-macam buah. Segar-segar
lagi.”
Kali
ini Anin kaget. “Tidak, Pak. Tidak usah,” jawab Anin dengan suara agak
keras.
“Tetapi saya ingin sekali memberimu
hadiah. Saya senang dompet dan
kartu-kartu ini kembali. Iya…iya. Coba bilang, kamu mau apa?” Pak Irawan tersenyum ramah melihat Anin.
Anin ragu antara bilang atau tidak, tetapi
pesan Farid terngiang-ngiang lagi. Akhirnya
Anin memberanikan diri. “Benar? Anin boleh minta hadiah?”
“Ayolah, sebut saja. Saya akan senang sekali memberinya…,” bujuk
Pak Irawan.
“Boleh minta apa saja?” Sebenarnya
ada satu benda yang sudah lama Anin inginkan.
Benda yang sekarang digenggam Pak Irawan.
“Iya…iya.”
“Anin
mau Blackberry, Pak,” jawab Anin sambil memandang Blackberry yang ada di
genggaman tangan kiri Pak Irawan.
Pak
Irawan tersenyum. “Iya…iya. Sekarang memang banyak yang suka. Kamu mau berapa?”
Waduh, bapak ini baik hati
sekali. “Hanya minta satu saja, Pak.”
Pak Irawan berpamitan dan berjanji akan kembali esok sore.
***
Ketika bel rumah berbunyi, Anin
langsung berlari ke luar rumah. Dia
yakin Pak Irawan akan datang membawa hadiah untuknya. Dan benar saja. Pak Irawan berdiri di depan pagar, menjinjing
satu tas kertas kecil.
“Hai, Anin,” sapa Pak Irawan ramah.
Anin membukakan pintu pagar dan menyalami Pak Irawan.
“Ini
yang Anin minta. Blackberry.” Pak Irawan mengangkat tas kertasnya tinggi.
“Terima
kasih, Pak.” Ingin rasanya Anin melompat
dan berteriak senang karena mendapat Blackberry.
Pak
Irawan menyerahkan tas kertas itu dan berpamitan.
Setelah
mobil Pak Irawan berbelok di ujung jalan, Anin menengok isi tas kertas
itu. Tampak satu kotak kue plastik
berwarna biru. Hmm, kenapa Blackberry ditaruh di kotak kue? Anin mengangkat kotak kue tersebut. Kok dingin, seperti baru ke luar dari kulkas? Sambil berjalan ke teras, Anin membuka
kotak kue dengan hati-hati. Tutupnya
rapat sekali, sehingga Anin harus mengerahkan banyak tenaga menarik
tutupnya. Tadaaaa… Sekejap, Anin terbelalak. Tetapi tak lama kemudian, Anin tertawa. Di dalam kotak kue tampak sebuah blackberry
segar sedang berguling-guling.
Anin
mengharapkan dapat Blackberry seperti yang dimiliki oleh teman-temannya, tetapi
yang dia terima dari Pak Irawan adalah buah blackbery segar. “Hahaha, beginilah, kalau mengharapkan
hadiah…”
(Antologi: Detektif Sok Tau, 2010, Human Books)