Saturday, July 20, 2013

Sungguh, Ada Sepuluh


            Driyo melepas sandal jepit di depan teras rumah Hengky, juragan burung yang kaya.  Driyo berjingkat-jingkat, takut mengotori lantai rumah.  Dua meter sebelum sampai di pintu, langkah Driyo terhenti.  Pintu terbuka.
            Hengky berdiri di depan pintu.  “Mau apa?”
            “Eh, itu…,” jawab Driyo takut-takut.
            Sana, lewat pintu belakang!”  Hengky langsung menutup pintu depan.
            Driyo berjalan mundur dan buru-buru mengenakan kembali sandal jepit.  Setengah berlari ia menuju pintu belakang, melewati berpuluh-puluh kandang burung.
            Hengky sudah menunggu di dekat pintu belakang.  Kedua tangganya diletakkan di pinggang.  “Mau apa sore-sore ke sini?”
            “Eh, mau minta tolong.” 
            “Pinjam uang?  Kapan mau dibayar?”  Hengky mencibir.
            “Oh, bukan, bukan,” jawab Driyo cepat.  “Beri saya pekerjaan.  Saya perlu uang.”  Suara Driyo memelas.  Tentu saja.  Kebun tomat miliknya mati karena hujan sudah lama tidak turun.  Saat ini ia tidak punya uang untuk beli makan.
            “Hmm…”  Mata Hengky berkilat licik.  Ia langsung menyusun rencana.  “Oke.  Ikuti saya!”  Hengky menuju ke satu kandang yang terpisah jauh dari kandang-kandang lainnya.  “Hitung burung itu.”  Hengky menunjuk ke burung-burung yang tampak lemah.
            “Sepuluh.”
            “Betul,” kata Hengky.  “Besok saya akan ke Depok.  Jadi, kamu pelihara sepuluh burung itu besok.  Pagi sampai sore.”
            Driyo mengangguk-angguk.  “Hmm, saya boleh minta upah di muka?” tanya Driyo pelan.  Ia tidak berani menatap wajah Hengky.
            “Ha ha ha! Aku tidak bodoh.  Pasti kamu mau kabur dengan uang itu.  Hahahaha…”
            “Eh, bukan begitu…,” jawab Driyo.  “Saya lapar.  Mau beli makanan.”  Suaranya memelas.
            “Upahmu dibayar besok.  Limapuluh ribu,” jelas Hengky.  “Tapi kalau jumlah burung itu berkurang, upahmu dipotong.  Sepuluh ribu untuk satu burung yang hilang.  Jelas?”
            Muka Driyo berbinar, membayangkan upah yang akan diterimanya esok.  “Jelas… jelas.”
            “Ingat, ketika saya kembali, di dalam kandang harus ada sepuluh burung,” Hengky menegaskan.
            Driyo mengangguk.  Ya iyalah, burung-burung itu tidak akan dijual…pikir Driyo.

            Pagi-pagi sekali Driyo sudah berada di dekat kandang burung.  Ia membersihkan kandang dan mengisi tempat makan dan minum.  Driyo mengambil enam ekor burung yang tampak lemas sekali.  Ia menyendokkan air ke sela-sela paruh secara bergantian.   Burung-burung itu menggoyangkan kepala, ucapkan terima kasih.  Tetapi badan mereka tetap saja lemas.
            Siang hari, Driyo datang untuk menambah makanan burung.  Enam  ekor burung yang tadi dibantu minum, terbaring di dasar kandang.  Mereka mati. 
            Driyo memperhatikan empat burung lainnya.  Mereka juga tampak lemas, tidak memiliki tenaga untuk mengepakkan sayap.  Pasti mereka akan menyusul teman-temannya.  Harus cari obat, nih…, pikir Driyo.  
            Driyo mengumpulkan beberapa macam daun yang berkhasiat mengobati burung yang lemas.  Daun-daun itu dihancurkan dan dicampur dengan air.         
            Tetapi Driyo terlambat sampai di kandang burung.  Sangat terlambat.  Empat burung yang tadi lemas, sekarang mati.
            Driyo memandang lemas kandang yang kini berisi sepuluh bangkai burung.  Bagaimana ini?  Driyo duduk lemas di depan kandang burung, hingga tidak mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
            “Hah?  Kenapa mati semua?” jerit Hengky.
            Driyo menjelaskan kejadian yang menimpa burung-burung itu. 
Tetapi Hengky tidak mau mengerti.  “Kau harus menggantinya!” kata Hengky ketus.  “Sepuluh ribu dikali sepuluh burung.  Total seratus ribu.”
“Darimana saya punya uang sebanyak itu,” jelas Driyo.  “Lagipula burung ini sudah lemas ketika saya datang.”
“Tidak mau tahu!  Pokoknya, kamu harus ganti seratus ribu.”
“Saya enggak punya uang.”
Hengky tidak habis akal.  “Ayo, ikut!  Kita ke Pak Kades, biar kamu dipenjara!”
“Jangan. Saya minta maaf.”  Tangan Driyo ditarik Hengky menuju kantor Kepala Desa.
“Main apa ini?  Kok saya enggak diajak?” tanya Pak Kades.  Ia tersenyum melihat Driyo yang ditarik-tarik Hengky.
“Penjarakan dia, Pak Kades.”  Hengky menunjuk Driyo.  “Dia enggak mau bayar.”
“Jangan buru-buru masuk penjara.  Jelaskan dulu,”  kata Pak Kades.
Dengan berapi-api, Hengky menjelaskan semuanya.
Pak Kades menatap Driyo.  “Kamu diupah jaga burung.  Kenapa burungnya bisa sampai mati?”  Tanpa menunggu jawaban Driyo, Pak Kades menoleh ke Hengky.  “Apa pesanmu sebelum pergi?  Ketika kamu pulang, harus ada sepuluh burung di dalam kandang.  Betul?”
“Betul, Pak Kades.”
“Di mana burung-burung yang mati itu?” tanya Pak Kades.
“Masih di sana.  Di kandang,” jawab Driyo.
“Jadi sekarang ada sepuluh burung di dalam kandang.  Betul?” tanya Pak Kades kepada Hengky.
“Be…  Betul,” jawab Hengky ragu.
“Sekarang jelas.  Driyo tidak perlu membayar ganti rugi.  Tapi Hengky harus membayar upah Driyo.”  Senyum Pak Kades semakin lebar.  Senyum keberhasilan mengatasi kelicikan Hengky.  “Tunggu apa lagi?  Ayo bayar upah Driyo!”
Dengan muka masam, Hengky terpaksa membuka dompet, lalu memberikan upah Driyo. 



Judul: Sungguh, Ada Sepuluh
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: Bobo 13 XLI 4 Juli 2013

No comments:

Post a Comment