Monday, July 22, 2013

Siapa Mau Anak Ayam?


            Bu Tyas duduk termenung di depan toko pakan ternak miliknya.  Dalam tiga bulan ini jumlah pembeli yang datang ke tokonya hanya lima orang.  Masing-masing mereka hanya membeli setengah kilo dedak. “Ah, kalau terus begini, toko ini akan segera tutup...,” keluh bu Tyas. 
            Anak-anak negeri Kalomolomo memang sedikit sekali yang memiliki hewan peliharaan.  Mereka umumnya memelihara electronic pet, hewan mainan yang dijalankan dengan batu baterai.  Setiap dua jam, anak-anak itu memencet tombol untuk memberi makan.  Kalau terlambat, hewan itu akan mati.  Dan untuk menghidupkan hewan itu kembali, mereka cukup membeli kartu elektrik yang dijual di toko mainan.        
            Seorang pejalan kaki menghampiri toko.  “Permisi, Bu...”
            Bu Tyas langsung berdiri, bersemangat.  Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa agar orang tersebut berbelanja di tokonya.  “Cari apa?” tanya bu Tyas ramah.
            “Bisa tolong tunjukkan jalan menuju gedung Kaleme?”
            Bu Tyas menarik nafas panjang.  “Ikuti saja jalan ini sampai simpang empat di depan sana.  Kemudian belok kiri.  Gedung Kaleme ada di sebelah kanan jalan,” jawab bu Tyas.
            “Jadi, terus saja dan belok kiri di simpang empat?” ulang orang itu.
            “Iya, benar.”
            “Terima kasih, Bu...”  Dan orang itu meneruskan perjalanan menuju gedung Kaleme.
            Bu Tyas melongok ke ujung jalan di kiri dan kanan.  Sepi.  Tidak banyak orang yang melintas di jalan itu.  Bu Tyas akhirnya memutuskan untuk menutup toko dan pergi berjalan-jalan.  Ia tidak punya tujuan yang jelas.  Ia hanya perlu berjalan kaki untuk berpikir.  Memang aneh.  Tetapi itulah kebiasaan bu Tyas.  Ia berpikir sambil berjalan kaki.  
            Sepasang ayam sedang membongkar timbunan sampah.  Mereka menggali cukup dalam.  “Pasti mereka mencari cacing untuk menu makan siang kali ini,” pikir bu Tyas.
            Di tempat terpisah, ada seekor induk ayam yang sedang memimpin enam anaknya.  Induk ayam itu marah ketika bu Tyas hendak mengambil seekor anak ayam yang berwarna kuning.  Bu Tyas mengurungkan niat.  Ia membiarkan induk dan anak ayam itu berlalu.  Lucu sekali.  Anak-anak itu berjalan beriringan di belakang induk ayam.  “A ha!” teriak bu Tyas.  Tiba-tiba ia mendapat ide cemerlang.
            Bu Tyas bergegas pergi ke peternakan ayam milik bu Fitri. 
            “Maaf, stok pakan ternak saya masih banyak,” kata bu Fitri ketika melihat bu Tyas datang.
            Bu Tyas tersenyum kecil.  “Saya bukan mau menawarkan pakan.  Tetapi mau membeli anak ayam,” kata bu Tyas.
            “Oh, sebenarnya saya hanya menjual ayam dewasa.  Tetapi untuk bu Tyas, bolehlah....  Mari..., mari..., silakan pilih,” kata bu Fitri cepat.  Ia menunjukkan kardus yang berisi anak ayam.  Semua berwarna kuning.  “Lihat, mereka sehat-sehat.  Bu Tyas perlu berapa ekor?”
            Setelah mencocokkan harga anak ayam dengan jumlah uang yang dipunya, bu Tyas menjawab, “Seratus ekor saja.”
            Bu Fitri memasukkan seratus lima ekor dalam sepuluh kantong semen.  “Lima ekor sebagai bonus,” kata bu Fitri sambil menerima uang pembelian.
            Bu Tyas tidak langsung pulang atau menuju tokonya.  Ia berjalan memutar, menuju sekolah dasar terbesar yang ada di negeri Kalomolomo.  Pada saat itu, jam pelajaran baru saja usai.  Dengan sigap, bu Tyas membagi-bagikan anak-anak ayam ke anak sekolah.  Mereka senang menerima anak ayam lucu.   
            Bu Tyas kini berjalan menuju tokonya sambil membawa limabelas anak ayam sisa.  Ternyata di muka toko sudah menunggu pak Gandi.
            “Hai, pak Gandi.  Perlu apa nih?” tanya bu Tyas.
            “Saya mau beli pakan ikan lele.  Setengah kilo saja,” jawab pak Gandi.
            Bu Tyas menimbang setengah kilo pakan ikan lele dan memasukkannya ke dalam tas plastik.  “Ini saya kasih hadiah satu anak ayam lucu.”  Bu Tyas menyerahkan pakan ikan lele dan satu ekor anak ayam kepada pak Gandi. 
            Pak Gandi menyerahkan uang.  “Wah, terima kasih.  Saya dengar toko ini sepi.  Malah ada yang bilang toko ini sebentar lagi akan tutup.  Tetapi bu Tyas malah bagi-bagi hadiah lucu.  Terima kasih banyak, bu Tyas.”
            Bu Tyas memindahkan sisa anak ayam ke dalam kardus supaya anak ayam itu bisa bernafas lebih baik.  Ia tidak lupa meletakkan dedak di dalam kardus.
            “Bu Tyas...,” panggil Bu Laela.  “Punya makanan untuk anak ayam?  Beli setengah kilo.”
            “Sebentar, saya ambilkan,” kata bu Tyas.  Ia menimbang setengah kilo dedak dan memasukkan seekor anak ayam sebagai bonus. 
            “Ah, terima kasih.  Tadi anak saya pulang membawa seekor anak ayam.  Jadi anak ayam yang di rumah akan ada temannya,” kata bu Laela tersenyum. 
            Baru saja bu Laela pergi, sekitar delapan puluh orang datang silih berganti.  Mereka datang untuk keperluan yang sama, membeli makanan untuk anak ayam.  Sejak itu toko pakan milik bu Tyas kembali ramai didatangi orang.  Mulanya mereka mencari makanan untuk anak ayam, tetapi lambat laun, mereka mencari makanan untuk ayam dewasa.
            Dan toko pakan milik bu Tyas menjadi yang terbesar di negeri Kalomo setelah ia menjalin kerjasama dengan bu Fitri dalam penyediaan anak ayam. 


Judul: Siapa Mau Anak Ayam?
Penulis: Erna Fitrini
Majalah: BOBO 01 XL 12 April 2012


No comments:

Post a Comment