Tuesday, January 6, 2015

TADULAKO BULILI (Sulawesi Tengah)


            Ketenangan desa Bulili, Sulawesi Tengah mendadak terusik. Beberapa laki-laki berbadan tegap dengan suara langkah yang dapat memecahkan gendang telinga, masuk ke desa. Mereka memakai seragam istana. Tujuan mereka hanya satu—mencari rumah Moro.
            Penduduk desa yang ramah mengantarkan lelaki berseragam itu hingga depan rumah Moro.
            Kedua orang tua Moro menyambut tamu berseragam itu dengan ramah. “Silakan masuk.”
            Satu persatu, tamu itu masuk ke dalam rumah Moro dan duduk berbaris, mirip ujung sisir. “Kami utusan Raja Sigi,” kata ketua utusan raja memperkenalkan diri. “Kami datang ke sini membawa amanat mulia dari raja.”
            Orang tua Moro saling berpandangan.
            Tanpa menunggu lama, ketua utusan raja melanjutkan, “Raja Sigi ingin melamar Moro.”
            Kali ini orang tua Moro terlonjak kaget. Untung saja kepala mereka belum sampai membentur langit-langit rumah. “Eh, melamar, Pah?” bisik ibunya Moro sambil mencolek suaminya. “Tapi kan enggak bisa begitu saja, Pah,”
            “Iya, Mah,” bisik bapaknya Moro. Ia membetulkan posisi duduknya. “Mau melamar Moro?” tanyanya kepada ketua utusan.
            Seluruh utusan raja mengangguk dan mengucapkan kalimat secara bersamaan. “Raja Sigi ingin melamar Moro. Titik.”
            “Hmm, hmm.” Suara bapaknya Moro terdengar penuh wibawa. “Kami harus bahas lamaran ini dengan Tadulako Bulili. Mohon tunggu sebentar.”
           
Desa Bulili memiliki panglima perang yang disebut juga tadulako. Mereka terdiri dari tiga orang, Bantaili, Makeku dan Molove. Ketiganya bertugas menjaga keamanan desa.
            Setelah dijemput oleh kerabat, tiga tadulako tiba di rumah Moro. Mereka segera terlibat dalam diskusi mengenai lamaran Raja Sigi. Diskusi berjalan lancar dan mereka sepakat menerima lamaran Raja Sigi.
            Kabar bahagia ini segera disampaikan kepada Raja Sigi. Acara pernikahan disusun sempurna. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Penduduk desa Bulili mendoakan kebahagiaan Moro dan Raja Sigi. Sejak saat itu, Raja Sigi menetap di desa Bulili.
            Sayangnya, setelah beberapa bulan menikah, Raja Sigi dan Moro menghadapi masalah. Mereka sering berbeda pendapat. Raja Sigi memutuskan kembali ke istana Sigi. Moro yang sedang hamil, menetap di desa Bulili.
            Mengetahui kepergian Raja Sigi, tadulako segera menghubungi Moro. “Ada apa, Moro?” tanya tandulako.
            Moro menjelaskan masalah yang dihadapi. Suaminya sudah lama pergi dan belum kembali. Moro juga mengkhawatirkan makanan untuk bayi laki-laki yang baru dilahirkannya.
            Akhirnya tadulako Bantaili dan Makeku pergi ke istana untuk menemui Raja Sigi.
            “Hey, kenapa ke sini?” tanya Raja Sigi dengan tangan di pinggang.
            Tadulako Bantaili dan Makeku kaget melihat perubahan sikap Raja Sigi yang menjadi kasar. “Ada berita seru. Bayi Baginda sudah lahir. Lucu. Sehat. Pipinya warna merah jambu,” kata Bantaili.
            “Oke. Sekarang kalian boleh pergi!” Raja Sigi membalikkan badan.
            “Oh, masa gitu aja, Baginda?” tanya Bantaili. “Kami butuh lumbung padi untuk bayi Baginda.”
            “Hahaha.” Raja Sigi tertawa sambil memegang perutnya. “Enggak mungkinnn. Kalian pikir aku bodoh? Pasti lumbung padi itu untuk penduduk Bulili yang sedang kelaparan.”
            “Suwer, Baginda.” Makeku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. “Lumbung padi itu untuk bayi Baginda.”
            “Huh, angkat saja lumbung padi di belakang istana.” Raja Sigi tersenyum sinis. “Pasti mereka enggak kuat angkat lumbung raksasa dan penuh padi itu,” gumam Raja Sigi.
            Kedua tadulako Bulili langsung menuju halaman belakang. Sambil berkonsentrasi, Bantaili menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tenaga. Dengan sekali hentakan, ia  dapat mengangkat lumbung padi itu dan membawanya pergi. Makeku mengikutinya dari belakang.
            Melihat hal itu, Raja Sigi kaget dan segera memanggil pengawalnya. “Pengawalll! Kejar mereka!” Perintah Raja Sigi menggelegar.
            Bantaili dan Makeku mempercepat langkah. Di tepi sungai, Bantaili menguatkan pegangan pada lumbung padi. Bantaili dan Makeku mengambil ancang-ancang sebelum melompati sungai.
            “Satu… dua… tigaaa!”
Mereka berhasil melompat ke seberang sungai, bahkan tidak ada satu butir padi yang jatuh dari lumbung. Keduanya memang hebat, pantas mendapat empat jempol.
            Pengawal raja gagal melompati sungai dan kembali ke istana Sigi.
            Suatu hari tadulako Bulili mendapat undangan dari raja Sigi. Jamuan makan itu diadakan di lokasi yang jauh dari desa Bulili. Ketiga tadulako datang bersamaan dan duduk di samping Raja Sigi.
            Ketika jamuan makan berlangsung, Makeku tampak merenung sehingga Bantaili dan Molove mendatanginya.
            “Kenapa?” tanya Bantaili.
            “Rasanya ada yang enggak beres,” bisik Makeku. “Pulang aja yuk?”
      Ketiga tadulako segera kembali ke desa Bulili dan melihat pengawal istana Sigi sedang membakar desa Bulili. Pengawal lainnya sedang menggiring penduduk desa Bulili ke Sigi.
Ketiga tadulako bekerja sama melawan pengawal dan menghentikan kobaran api. Mereka juga membawa penduduk kembali ke desa Bulili. Sejak itu Raja Sigi tidak lagi berani mengganggu desa Bulili.

*diceritakan kembali

No comments:

Post a Comment