Monday, November 5, 2012

TIPS: Cerita dengan Pesan Moral


Cerita yang baik adalah cerita yang sarat dengan pesan moral. Ah, kata siapa? Cerita yang baik itu cerita yang seru dan menyenangkan. Syukur-syukur cerita itu bisa mengajak kita berbuat kebaikan.
Bagaimana dengan cerita di bawah ini?


HANYA MINTA SATU SAJA

            “Halo, Bapak Irawan Hakim Siregar, ada?” tanya Anin.  Tangan kiri Anin memegang gagang telepon dan tangan kanannya menunjuk satu nama di buku telepon.
            “Ini siapa?” tanya suara laki-laki dari seberang.  Di latar belakang, terdengar bunyi berbagai macam mesin, seperti suasana di pabrik.  Ramai sekali.
            “Anin.”
            “Aming?  Yang pemain film itu?  Weleh-weleh, kejutan besar.  Ada apa, nih?” tanya laki-laki itu bersemangat.
            “Ini Anin.  Anin.”  Anin mengulang namanya lebih keras.
            “Oh, bukan Aming.  Iya…iya, saya sudah dengar, tidak perlu teriak, Amin.”
            Semula Anin ingin membetulkan namanya, tetapi dia berubah pikiran.  Ah, biarlah.  Anin meneruskan, “Bapak Irawan Hakim Siregar, ada?”
            “Apa?”  
Bunyi mesin-mesin itu terus saja terdengar jelas.  Suaranya menderu-deru.  Anin membayangkan itu bunyi mesin penggiling biji-bijian seperti yang pernah dilihatnya di televisi.
            Anin mengulang pertanyaan dengan suara keras.  Dalam hati dia berdoa, semoga Bapak ini tidak marah karena mengira Anin tidak sopan.
            “Iya…iya.  Ini saya.  Dari mana kamu tahu nomor telepon ini?” tanya Pak Irawan.
            Anin menjelaskan bahwa sepulang sekolah dia menemukan dompet di pinggir selokan.  Di dalamnya ada KTP, SIM dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).  Berdasarkan nama di KTP itu, Anin menemukan nomor telepon Bapak Irawan di buku petunjuk telepon.
            “Benar itu.  Iya…iya.  Dompet saya hilang minggu lalu.  Di mana rumah Amin?”
            Setelah beberapa kali mengulang dengan suara keras, Anin berhasil memberitahu Pak Irawan alamat rumahnya.
            “Iya…iya.  Sebentar saya datang,” janji Pak Irawan.
            Dua jam kemudian, ketika Anin sedang menyiram tanaman, Pak Irawan datang dengan mobil hitamnya yang mewah.  Tiba-tiba Anin teringat pesan Farid, teman sekolahnya, “Jangan lupa minta hadiah dari pemilik dompet ini.” 
Setelah berkenalan sebentar, Anin menyerahkan dompet hitam milik Pak Irawan.  “Ini dompetnya, Pak.  Semua ada di sini.”
            Pak Irawan tersenyum lebar ketika melihat dompetnya.  “Iya…iya.  Ini benar dompet saya.”  Setelah memeriksa isinya, KTP, SIM dan STNK, Pak Irawan merangkul bahu Anin erat.  “Terima kasih, Amin.”
            “Nama saya Anin, Pak.  Bukan Amin,” kata Anin sopan.
            “Oh, Anin?  Baik… baik.  Sekarang saya mau kasih Anin hadiah.  Anin mau hadiah apa?”  Pak Irawan menunggu jawaban Anin.
            Walau pesan Farid terus terngiang-ngiang, Anin menjawab sopan, “Ah, enggak.” 
Ketika Anin menjawab, sebuah bajaj melintas di depan rumah Anin.  Suaranya bising sekali.  Pak Irawan saja sampai menutup kuping dengan tangannya.  
“Mangga?  Kamu mau mangga berapa?” tanya Pak Irawan.  “Saya memang kerja di pabrik pengolahan buah-buahan, untuk dijadikan minuman dan selai.  Di sana ada bermacam-macam buah.  Segar-segar lagi.”
Kali ini Anin kaget.  “Tidak, Pak.  Tidak usah,” jawab Anin dengan suara agak keras.
“Tetapi saya ingin sekali memberimu hadiah.  Saya senang dompet dan kartu-kartu ini kembali.  Iya…iya.  Coba bilang, kamu mau apa?”  Pak Irawan tersenyum ramah melihat Anin.
            Anin ragu antara bilang atau tidak, tetapi pesan Farid terngiang-ngiang lagi.  Akhirnya Anin memberanikan diri.  “Benar?  Anin boleh minta hadiah?” 
            “Ayolah, sebut saja.  Saya akan senang sekali memberinya…,” bujuk Pak Irawan.
            “Boleh minta apa saja?”  Sebenarnya ada satu benda yang sudah lama Anin inginkan.  Benda yang sekarang digenggam Pak Irawan.
            “Iya…iya.”
            “Anin mau Blackberry, Pak,” jawab Anin sambil memandang Blackberry yang ada di genggaman tangan kiri Pak Irawan.
            Pak Irawan tersenyum.  “Iya…iya.  Sekarang memang banyak yang suka.  Kamu mau berapa?”
            Waduh, bapak ini baik hati sekali.  “Hanya minta satu saja, Pak.”
            Pak Irawan berpamitan dan berjanji akan kembali esok sore.
            ***
            Ketika bel rumah berbunyi, Anin langsung berlari ke luar rumah.  Dia yakin Pak Irawan akan datang membawa hadiah untuknya.  Dan benar saja.  Pak Irawan berdiri di depan pagar, menjinjing satu tas kertas kecil.
            “Hai, Anin,” sapa Pak Irawan ramah.
            Anin membukakan pintu pagar dan menyalami Pak Irawan.
            “Ini yang Anin minta.  Blackberry.”  Pak Irawan mengangkat tas kertasnya tinggi. 
            “Terima kasih, Pak.”  Ingin rasanya Anin melompat dan berteriak senang karena mendapat Blackberry. 
            Pak Irawan menyerahkan tas kertas itu dan berpamitan.
            Setelah mobil Pak Irawan berbelok di ujung jalan, Anin menengok isi tas kertas itu.  Tampak satu kotak kue plastik berwarna biru.   Hmm, kenapa Blackberry ditaruh di kotak kue?  Anin mengangkat kotak kue tersebut.  Kok dingin, seperti baru ke luar dari kulkas?  Sambil berjalan ke teras, Anin membuka kotak kue dengan hati-hati.  Tutupnya rapat sekali, sehingga Anin harus mengerahkan banyak tenaga menarik tutupnya.  Tadaaaa…  Sekejap, Anin terbelalak.  Tetapi tak lama kemudian, Anin tertawa.  Di dalam kotak kue tampak sebuah blackberry segar sedang berguling-guling. 
Anin mengharapkan dapat Blackberry seperti yang dimiliki oleh teman-temannya, tetapi yang dia terima dari Pak Irawan adalah buah blackbery segar.  “Hahaha, beginilah, kalau mengharapkan hadiah…” 

(Antologi: Detektif Sok Tau, 2010, Human Books)

No comments:

Post a Comment