Sunday, November 4, 2012

Suatu Pencarian



Sekarang giliranmu, Pi.” Mirza memberikan dadu kepada temannya.  Sejak dari
pulang sekolah, Mirza dan tiga temannya asik bermain monopoli.
            Tiba-tiba terdengar suara ramai di muka rumah.  Mirza langsung meninggalkan teman-teman dan berlari ke teras.  Pak Zainul, ayah Mirza sedang membersihkan linggis di teras.  “Ada apa, Yah?” 
            “Entahlah....”  Pak Zainul meletakkan linggis.
            Penduduk desa berlari ke arah rawa yang berada di dekat gedung sekolah.  Mereka membawa golok, bambu, linggis dan sekop. 
            “Hei, ada apa?” tanya Pak Zainul. 
            Salah satu dari mereka menoleh sebentar.  Dia mengatakan sesuatu, tapi tidak jelas terdengar karena ramainya suara orang-orang berteriak.  Yang terdengar jelas hanya kata, “Rawa!”
            Dengan cepat Ayah mengenakan sepatu bot karet dan mengambil linggis.
            “Yah, aku ikut,” minta Mirza.
            “Tidak.  Kamu di rumah saja.  Teruslah bermain,” kata Ayah sebelum berlari menyusul penduduk desa lainnya.
            Pak Zainul dan Mirza tidak banyak mengetahui tentang rawa itu.  Mereka baru sebulan tinggal di desa ini.  Menurut cerita yang beredar, rawa itu sangat menyeramkan.  Tidak seorang pun berani masuk ke dalamnya.  Ada seekor buaya besar yang hidup di tengah rawa.  Seorang anak yang sedang bermain di pinggir rawa pernah menjadi korban buaya itu. 
Setiap jam istirahat guru selalu mengingatkan murid-murid untuk tidak bermain di dekat rawa.  Orang tua pun juga selalu mengingatkan anak-anak mereka untuk menjauhi rawa.  Tetapi, bagaimana mungkin?  Lokasi rawa itu dekat sekali dengan gedung sekolah.  Dan di pinggir rawa banyak tumbuhan benang kusut yang buahnya manis sekali.  Di rawa itu juga banyak hidup kerang warna hitam yang bentuk dan ukurannya seperti jari kelingking.  Kalau direbus, rasa kerang itu seperti cumi-cumi.  Enak sekali.  Nah, sebelum pulang ke rumah, anak-anak sering mengumpulkan buah benang kusut dan kerang. 
                                                                     ***
Sudah banyak orang yang berkumpul di pinggir rawa.  Mereka menggunakan linggis dan bambu untuk memukul-mukul tanah pinggir rawa.  Tak seorang pun berani masuk ke dalam rawa.  Mereka juga meneriakkan sebuah nama secara beramai-ramai, sehingga nama itu tidak jelas terdengar.
Pak Heru, ketua kelompok dibujuk untuk melakukan pencarian ke tengah rawa.  Muka Pak Heru memerah.  Keringat mengucur deras di dahinya.  Penduduk terus saja membujuk Pak Heru.  Akhirnya Pak Heru tidak bisa mengelak lagi.  Dia memutuskan untuk masuk ke dalam rawa.  Dengan langkah goyah, Pak Heru masuk ke dalam rawa.  Dua orang mengikutinya dari belakang.  Sedangkan yang lain tetap berdiri di pinggir rawa dan mulai membaca doa agar Pak Heru dan lain-lain selamat.
Setelah tiga langkah, Pak Heru tiba-tiba berhenti.  Dia mengangkat tanan kanannya dan berkata, “Berhenti.  Kita kembali ke pinggir rawa.”
“Ada apa?  Ada apa?” tanya Pak Edi dari pinggir rawa.
“Kita lanjutkan pencarian besok,” kata Pak Heru.  “Eee... hari mulai gelap.”  Pak Heru menunduk.  Keringat membasahi bajunya.
“Tapi ini baru jam 2.  Masih terang!” protes Pak Zaldi.

Baca kelanjutan cerita di Majalah Bobo, ya.

(Bobo 33/XXXIX 24 Nov 2011)

No comments:

Post a Comment