Monday, June 20, 2022

Antibiotik: Harus Dihabiskan

Antibiotik sudah menjadi obat yang umum diresepkan dokter untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri pada kondisi tertentu. Sebenarnya, sejak kecil pun saya sudah makan obat jenis ini, tetapi entah mengapa respon tubuh negatif terhadap beberapa merek antibiotik baru terlihat pada usia sekitar 30an.

Saat itu saya mendapat antibiotik amoxicillin dengan dosis 3x/hari. Namun, baru sekali menelan obat itu, saya merasakan badan yang gatal. Anehnya, gatal itu tidak terasa di permukaan kulit, tetapi di bawahnya. "Jadi, gimana garuknya?" Saya langsung hubungi doktter yang meresepkan itu dan segera mendapat ganti antibiotik lainnya. Alhamdulillah aman.

Setelah itu, ada lagi kejadian dengan antibiotik merek lain yang membuat badan juga terasa gatal. Sayangnya, saya lupa nama obat itu. Ketika itu keputusan saya, menghentikan pemakaian tanpa melapor kepada dokter. Walaupun saya tahu, di kemasan obat antibiotik pasti dituliskan harus dihabiskan.

Suatu ketika, saya tugas di Pontianak dan demam yang sampai membuat saya kesulitan jalan. Tak ingin merepotkan teman-teman di kantor cabang, saya berinisiatif mendatangi dokter umum yang praktek tidak jauh dari hotel. Saya masih ingat, dokter tersebut sudah sepuh dan sangat berhati-hati. Menanyakan perjalanan, makanan, kebiasaan dan alergi saya. Oh iya, beliau juga menanyakan jadwal tugas saya sebelum kembali ke Jakarta. Akhirnya dengan suara berat dokter itu bilang, "Saya harus resepkan antibiotik. Ada alergi antibiotik?" Saya ingat amoxicillin tetapi saya lupa nama antibiotik yang satunya lagi. Lalu dokter itu berpesan, "Catat seluruh nama obat yang mencetuskan alergi dan kabari ke keluarga dan teman-teman." Sejak itu saya mencatat nama obat yang membuat saya tidak nyaman sampai tidak tahan.


Minggu lalu, saya mendapat resep obat antibiotik (dosis 3x/hari) dari dokter gigi setelah mencabut geraham bungsu.  Duh, masih terbayang rasanya ketika dokter mencongkel gigi dengan obeng. Mana saya sempat-sempatnya melihat semua alat dan bahan yang masuk ke dalam mulut. Ngeri, ngilu, nyeri, pegal dan lain-lain yang bercampur jadi satu.

Tidak lama setelah makan antibiotik ini pertama kali, terasa perut mual, tetapi tidak sampai muntah. Saya berbaring dengan bersandarkan pada bantal tiga susun. Obat itu masih terus saya makan, mengingat ada pesan manis (dihabiskan). Lalu saya temukan cara untuk mencegah mual: makan yang banyak. Mulailah saya aktif mengunyah, nasi, sayur, ikan, buah, camilan, buah lagi, sayur lagi, roti. 

Memang tidak terasa mual, tetapi perut bagian bawah terasa penuh gas meskipun antibiotik sudah habis. Tidur berbaring lurus membuat perut saya sakit seperti ditarik. Jalan dan mengangkat beban pun membuat perut terasa sakit. Perut bagian bawah kalau ditekan terasa keras dan sakit.  Ini berlangsung selama tiga hari. Saya coba atasi dengan minum ramuan jahe, kunyit, dan pandan. Setiap akan tidur saya oleskan Minyak Kutus Kutus agar bisa tidur sedikit lebih lama. Itu pun saya terbangun malam setelah sekitar tiga jam tidur, lalu meringis sakit/tidak nyaman di perut. Saya sudah berpikir untuk ke dokter, tetapi...

Tadi malam sepertinya saya dapat pencerahan, Alhamdulillah. Sambil berbaring lurus di tempat tidur, saya tekan perlahan-lahan perut bagian bawah. Sakit sih, tetapi terasa ada getaran-getaran halus dalam perut yang terasa naik dan kemudian hilang. Bukan sendawa, ya. Kemudian saya ulangi dengan menekan titik-titik lain di perut bagian bawah dan rasakan sensai yang sama. Alhasil saya bisa tidur nyenyak dan bangun pagi lebih segar. 

Saya tidak tahu apa memang begini cara mengatasi perut yang terasa penuh gas.




No comments:

Post a Comment