Wednesday, August 22, 2012

Anak Laki-laki Itu


      Pagi ini Tante Nada dan Ari duduk mengantri di kantor agen perjalanan.  Tante Nada hendak membeli tiket penerbangan ke Medan. 
           Ari mengeluarkan rubik dari dalam ransel kain yang ada di punggungnya.  Dia memutar-mutar rubik tersebut beberapa kali.  Seorang anak laki-laki datang menghampirinya.
            “Pinjam, dong,” kata anak laki-laki itu.
            “Boleh.”  Ari memberikan rubik kepada anak laki-laki itu.
            Anak laki-laki itu hanya melihat-lihat seluruh sisi rubik, tetapi tidak memutar satu kali pun.  “Aku Anggito.”  Anggito mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
            “Ari.”  Ari menyambut jabat tangan Anggito.  Tangan Anggito terasa kasar. 
            “Mau liburan ke mana?” tanya Anggito.
            “Mungkin ke kebun cokelat Rajamandala,” jawab Ari.
            “Di mana tuh?” tanya Anggito.
            “Daerah Jawa Barat...”
            “Oh, aku kira di luar negeri,” kata Anggito tertawa sambil memamerkan giginya yang putih bersih.  “Aku ingin liburan ke Paris.  Tuh, bapakku lagi mencari informasi.”  Anggito menunjuk ke arah seorang bapak berbaju biru.  Bapak itu sedang berdiri di depan poster Opera House.
            “Paris?  Jauh amat.”
          “Ya, iyalah...  Tapi di sana kamu bisa lihat patung Liberty.  Patungnya tinggi.  Lebih tinggi daripada Monas.”
            “Patung Liberty kan di Amerika, bukan di Paris,” kata Ari membetulkan.
            Tante Nada yang duduk disamping Ari mengangguk-angguk tanda setuju.
            “Kamu suka ke museum?” tanya Anggito.
            “Suka.  Terakhir aku ke museum Buya Hamka, di dekat Padang,” jawab Ari.
        “Kalau di Paris, kamu bisa jalan-jalan ke museum juga.   Di sana banyak museum.  Yang terkenal museum Madame Tussaud,” lanjut Anggito dengan bangga.
            “Hah?” Ari terbelalak kaget.  “Museum Madam Tussaud yang berisi patung-patung lilin itu, kan?” tanya Ari.
            Anggito mengangkat bahu.  “Aku belum pernah ke sana,” kata Anggito dengan pelan.  “Ada juga bangunan tinggi yang hampir rubuh…”
            “Menara Pisa?” tanya Ari.
            “Oh, iya.  Namanya Menara Pisa.  Itu bangunan kuno.  Dibangun waktu Paris dijajah tentara Malaysia.”
            “Hah?  Salah tuh,” protes Ari. 
“Apanya yang salah?” tanya Anggito bingung.
“Menara Pisa ada di Italia.  Museum Madam Tussaud ada di beberapa negara, tapi tidak ada di Paris.  Malaysia juga tidak pernah menjajah Prancis,” Ari menjelaskan.
Anggito menatap Ari dengan kagum.  “Jadi di Paris ada apa?” tanya Anggito perlahan.
“Menara Eiffel,” jawab Ari.
“Kamu sering jalan-jalan ke luar negeri?” tanya Anggito
Ari hanya menggeleng.  “Belum pernah.  Semua itu ku baca di majalah.”
“Pantas kamu tahu banyak.”  Anggito menunduk.  “Bapakku tidak punya uang untuk membeli majalah…,” lanjut Anggito pelan.
Ari tersentak kaget.  “Kamu punya uang untuk berlibur ke Paris, tetapi tidak punya uang untuk membeli majalah.  Aneh…”
“Eh, aku memang ingin berlibur ke Paris, tetapi tidak sekarang.  Nanti.  Kalau Bapak sudah punya cukup uang dari hasil jualan sayur,” jawab Anggito tersenyum.  Gigi putihnya memantulkan cahaya lampu.  “Aku dan Bapak sering ke sini karena senang melihat poster-poster itu.”  Anggito menunjuk ke arah poster yang bergambar tempat wisata terkenal di dunia.
          “Ha ha ha ha,” Ari tertawa.  “Ke rumahku saja.  Kita bisa baca majalah sama-sama.  Banyak gambarnya juga.”  Ari mengambil secarik kertas dari dalam ransel dan menuliskan alamat rumah.
            Anggito menerima kertas itu dan membacanya.  “Aku tahu jalan ini.”
“Tinggal cari nomor sebelas.  Pagar biru.  Besok siang, aku tunggu, ya!”
            Anggito mengangguk-angguk senang.
Bobo  39 Tahun XXXIX 12 Januari 2012

No comments:

Post a Comment