Waktu sudah lewat jam empat sore
ketika kami, saya dan Iyes ke luar dari bandara Sam Ratulangi. Ini kali pertama
saya ke Manado setelah meninggalkan kota ini lebih dari 25 tahun silam. Bandara
sudah banyak berubah, eh, tentu saja. Anjungan kedatangan luas dan tampak
bersih. Tidak bisa berlama-lama mengamati interior bandara karena Rafia dan
Amay, dua teman jaman sekolah di SMPN 1 Manado dulu, sudah melambai-lambaikan
tangan di dekat pagar penjemput. Keduanya tidak berubah, senyum lebar dan ramah,
meskipun menjemput kami ini pastinya ganggu jadwal kerja mereka.
Kita berjalan menuju tempat parkir,
saya sempatkan melihat bangunan bandara bagian luar. Di tembok bagian atas,
tertulis Sitou Timou Tumou Tou. Ini bahasa Minahasa yang jauh berbeda dari
bahasa Manado. Bahasa Manado yang dulu sedikit saya kuasai waktu di SMPN1 saja
lupa, apalagi bahasa Minahasa, yang sering terdengar seperti gesekan daun kelapa. Jadi, apa artinya? Let’s check om google. Katanya,
itu cara pandang orang Minahasa terhadap dirinya dan orang lain. Well, daleeemmm.
Tempat makan pertama hari itu di Pondok
Teterusan yang terletak dekat bandara, luar kota Manado, dan berseberangan
dengan hutan. Memiliki tempat parkir yang luas, rumah makan ini juga punya banyak
kolam yang di atasnya ada saung tempat makan. Kami menuju dapur dan memesan
empat nasi, ikan mujaer, kangkung dan air jeruk.

Menyesal, ukuran perut tidak
sebanding dengan makanan yang dihadapi. Saya dan Iyes gagal menghabiskan nasi,
tapi tidak begitu dengan ikan mujaer dan kangkung. Mereka tandas. Pasti ini
gara-gara bayangan pertanyaan orang pesimis ‘kapan lagi bisa mampir di sini?’ Bagaimana
dengan rica-rica? Hanya seperlima porsi yang bisa kami habiskan. Daya tahan
lidah kami terbatas. Saya sempat melihat piring ikan Rafia dan Amay. Kosong. Mereka
menghabiskan semua rica-rica. Hebat beneeeer.
Malam hari di hotel Sahid Kawanua,
saya dan Iyes bertugas jaga di toilet. Perut kami berontak dan ini harus
diselesaikan malam itu pula karena jadwal esok padat.
Pagi hari, setelah badai malam
lewat, isi komunikasi saya dan Iyes: enggak nyesel makan ikan mujaer rica-rica.
Dan enggak bakal nolak kalau ada yang ajak lagi.